Macam Mana Nak Cari Jodoh di Malaysia?

900k ahli di sana sedang mengunggu anda di Baitul Jannah. Mungkin.. jodoh awak ada sana.

Daftar Sekarang!

Membaca Buku Saya - Ruang Lengang

  • Epri
  • 15 years ago
  • 2,154

 

Membaca Buku Saya - Ruang Lengang

Dear All Kapasitor Member

Kalau tak ada halangan, InsyaAlloh saya akan datang bersilaturrahim ke Acara Ulang Tahun Kapasitor yang ke 4 akhir bulan ini. Senang sekali bisa berbagi dan menambah sahabat di komunitas ini.

Alhamdulillah buku puisi saya berjudul 'Ruang Lengang' sudah cetak ulang dan cetakan ke 2 nya sdh terbit. Dilengkapi kata pengantar dari Jamal D. Rahman [Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison].


Bila rekan-rekan dari Malaysia ada yang berminat memiliki buku ini, InsyaAlloh saya bisa bantu bawakan pada acara ulang tahun Kapasitor tersebut, tapi sebaiknya rekan-rekan pesan dulu via email ke geraibuku@gmail.com , nanti mereka akan konfirmasikan ke saya untuk saya bawa, karena pastinya kapasitas bagasi pesawat terbatas. Sebutkan nama lengkap dan alamat anda via email tersebut. Harga buku dalam Rupiah adalah Rp 30.000,- atau mungkin bila dalam Ringgit Malaysia sekitar 12 Ringgit.

Oiya Image atau gambar cover buku ini bisa dilihat di --> http://geraibuku.multiply.com/photos/album/47/Pre_Order_Buku_Puisi_Epri_Tsaqib_Ruang_Lengang#1

atau di kolom Photo Kapasitor Profil saya.

Berikut ini salah satu Resensi atau ulasan mengenai buku ini dari salah seorang pembaca buku saya, selamat menikmati.

 

Salam Kreatif

Epri Tsaqib

------------------------------------------

 

 

DI Ruang Itu , Ibu, KAU Sebening  Embun Sehangat Kopi

 

Oleh Ilenk_rembulan

 

            Dalam ruang lengang Jumat sore tanggal 25 Juli 2008, lagi seorang penyair yang saya kenal bersahaja meluncurkan kumpulan puisinya malam itu. Dengan cover luar yang menarik dan kolaborasi yang menawan antara puisi dan gambar yang dihasilkan oleh beberapa fotografer menghiasi halaman luar dan dalamnya, menambah nilai  lebih  pada buku. Bagai dara cantik yang baru tumbuh dengan kerampingan buku dan design cover luar dalam ditambah isinya yang istimewa, menjadikan saya jatuh cinta sejak pandangan pertama terhadap buku puisi ini.


            Beberapa kali saya sudah menikmati sajak-sajak Epri  di milis maupun yang termuat di Koran atau majalah, dimana susunan katanya  mempunyai roh, sehingga saya kepincut untuk selalu merenung bait-bait setelah jeda waktu selesai membacanya.


            Seperti menemui oase yang hilang, diantara gemuruh style penciptaan puisi oleh kebanyakan penyair jaman sekarang yang mempunyai kemiripan satu dengan lainnya, dikarenakan apa mereka sengaja menciptakan puisi disesuaikan dengan selera pengasuh rubrik Koran dan majalah atau keinginan untuk segera puisinya bisa di pajang di Koran atau majalah (Remy Soetansyah malam itu menyindir “kalau belum di muat di kompas belum jadi penyair” Apa iya !?), sehingga kadang mereka menggadaikan imajinasi dan creativitasnya sehingga hanya seonggok puisi yang membuat saya sebal dan kadang-kadang pengen muntah (padahal tidak sedang hamil) atau bahkan lebih ekstrim, saya sempat berpikir apa iya mereka para penyair itu sudah berkolaborasi dengan pengasuh rubrik Koran dan majalah mengadakan pembodohan pada pembacanya?, hanya menerbitkan bentuk puisi yang itu-itu saja. Kadang sering saya jumpai kata-kata yang hampir mirip satu sama lain, padahal otak masing-masing manusia ini tak ada yang sama dalam penciptaan imajinasinya, daya kreatifnya, kecuali kalau kita terlibat dalam satu konspirasi penciptaan tertentu yang sudah terpatron.


            Epri salah satu penyair yang berani tampil beda dari euphoria penyair masa kini, pemula yang telah membuat kumpulan puisinya dijadikan buku dengan judul “ Ruang Lengang” . Buku cantik ini terdiri dari 44 puisi, dimana hampir semua puisi Epri menyajikan ketenangan, kesunyian, kedalaman pada jiwa manusia dan rangkaian kata-katanya mempunyai roh yang kuat, walau hanya terdiri dari beberapa kumpulan kata-kata saja, namun bisa membawa pembacanya merenung, mengambil nafas sejenak, menerawang, dan yang terpenting adalah menciptakan ketenangan, kelembutan.

            Ditemani James Blunt menyanyikan 1973 pada malam yang sepi , saya mulai menjelajahi alam pikiran Epri dikedalaman kata-katanya.

            Saya teringat ucapan Jamal D. Rahman ketika membedah buku ini pada launching hari Jum’at, dan sepakat dengannya ketika membaca susunan kata dalam puisi yang berjudul “Di Ruang Itu”. Epri membawa pembaca untuk masuk ke dalam relung jiwa manusia yang terdalam, dia tidak mengajak kita ke luar dari pikiran kita, karena yang di luar itu memang realita, tetapi mengajak kita masuk ke dalam diri kita masing-masing, ada apa yang ada dalam diri kita ini?


Di Ruang Itu

Di dasar ruang hatimu kutanam sunyi

Sebuah tempat yang selalu bisa kudatangi

Kapan saja aku mau termangu

 

Hari ini aku datang ke situ

Memandangi kamu yang galau

 

Lalu aku tulis sebuah sajak yang tak selesai

Kuletakkan di salah satu dindingnya

 

Kau boleh melengkapinya kapan saja

Atau membiarkannya basah sendirian

Dengan tetes airmatamu

 

            Sajak ini berbicara ketika kita sedang galau, kata hati ini mengajak kita masuk ke dalam jiwa untuk merenung tentang apa yang harus kita lakukan dengan kegalauan hati kita. Biasanya kata hati kecil selalu memberikan solusi atau jalan keluar, disini Epri menulis “lalu aku tulis sebuah sajak yang tak selesai”, artinya solusi yang diberikan hati kecil kita memang tidak tuntas, tetapi mengajak logika  rasionalitas kita meneruskan untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi, diakhir bait “kau boleh melengkapinya kapan saja/ atau membiarkannya basah sendirian / dengan tetes airmatamu”. Suatu ending yang menggigit.

 

            Entahlah, pada saat launching kemarin, saya lupa menanyakan, mengapa dia membuat puisi dengan judul “kematian” sampai lima kali. Saya menjauhkan “tanda” atau “tahayul” tentang penciptaan puisi kematian seperti beberapa penyair membuat puisi dengan judul itu, kemudian tak berapa lama mereka benar-benar tiada. Dalam imajinasiku menangkap roh dari kata-kata yang terangkum di dalam sajak Epri adalah memperingatkan kita semua akan datangnya kematian yang setiap detik pasti akan terjadi dengan selalu kita mengingatnya “sudahkah kita siap menyongsong mati ?”

           

Dari lima puisi kematiannya, saya sependapat dengan Dani moderator pada Jum’at malam itu, bahwa puisi dengan judul “Kematian 4”, membuat bulu kuduk merinding sejenak.

            Waktu semakin larut,  dengan iringan The Used menyanyikan sayup-sayup The bird and the Worm, saya membaca lamat setengah berbisik sajak ini.

 

Kematian 4

 

Berdiri di antara 3 jembatan

 

Sepotong kain putih tanpa kacing

 

Sebuah buku diari

 

Sesobek alamat

                        dan petunjuk jalan

 

            “Berdiri di antara 3 jembatan”, mengingatkan saya akan hadist rosul yang mengatakan hanya 3 perkara yang akan menolong kita kelak di alam abadi yaitu amal perbuatan kita selama di dunia, harta atau ilmu yang di tinggalkan yang bermanfaat untuk kemanusiaan dan do’a anak yang saleh. “Sepotong kain putih tanpa kacing “ sama dengan kain kafan. Ya, hanya kain kafan sebenarnya harta yang tersisa yang dibawah ke alam abadi. Semua kemewahan, hiruk pikuk duniawi takada satupun yang mau ikut serta kecuali hanya sehelai kain kafan tanpa kacing, karena memang tidak di jahit (mengapa Tuhan tidak menyuruh kita untuk menjahit?, karena beliau kuwatir kita akan memperagakannya di sana , peragaan busana sudah tidak dibutuhkan lagi, hanya peragaan amal kebajikan yang diperlukan dan itu tidak butuh baju secara harafiah). “Sepotong diari”, jelas disini adalah buku amal kebajikan kita selama di dunia. “Sesobek alamat dan petunjuk jalan”. Alamat cukup satu yaitu Istana Arz di lapisan ke tujuh tempat singasana Allah dan petunjuk jalan adalah abdinya yang setia Malaikat.

 

            Evanescence berteriak lembut dengan Call me when You’re Sober menemaniku menjelajahi lebih lanjut. Terpaku sejenak pada judul sajak “Pergi”, mengambil nafas perlahan dan memory memutar kembali kutipan dari Jamal D.Rahman bahwa dalam sajak ini Epri membawa kita ke dunia batinnya, di sini dia menegaskan betapa terbatasnya dunia dalam kita sebagai manusia. Dan sajak ini berhasil dibawakan dengan indah, lembut, mengena dalam musikalisasi puisi anak angin pada jum’at itu.

 

Pergi

 

Aku pergi menulis

Kamu lambaikan tangan

Lalu bilang, “Selamat jalan, hatihati ya!”

 

Padahal aku pergi

Ke dalam ruang sepi

Hatimu

 

Suatu saat kalau kau

Sudah sadar, kau mungkin

Akan bilang, “Selamat datang, kau betah di sini kan sayang?”

 

            Untaian kata di atas itu mengingatkan kita bahwa bila hati kita merasa tidak nyaman, biasanya kita suka merenung sejenak tanpa sadar sebenarnya hati nurani menyapa kita dan selalu menemani, memberikan ruang sejuk pada kegalauan pikiran kita, sehingga membuat pikiran kita kembali menjadi tenang.

 

            Panic at the disco dengan I write Sins, not Tragedies, menembus semakin dalam roh pada sajak-sajak Epri. Kali ini sajak yang dibuat tipografi dengan judul KAU. Pada saat pertama saya menerima buku ini dan membukanya, saya sudah suka dengan sajak ini, dan penafsiran saya tentang makna dari sajak ini ternyata sama dengan penafsiran yang diungkapkan oleh Jamal pada malam itu, namun yang menjadi surprise adalah sang penyair tidak mengira bahwa tipografi dalam sajak ini ternyata membentuk penafsiran yang mendalam tentang sajak ini sebagai semacam sajak keprihatinan sosial masyarakat kini.

 

 

KAU

 

L       S       T

a       e      e

n      r      r

g      I         s

k      n          e

a      g            o

h                 k

k

u

terluka dalam perih

 

sungguh aku tak perduli

bila KAU masih ada

:di setiap

 

t       a        m

e       I         a

t       r         t

e                 a

s                 k

                  u               

 

            Jamal mengatakan bahwa “cakrawala” sedangkan saya lebih suka mengatakan “roh”. Ya, kata di tangan penyair seperti mempunyai roh untuk memberikan pencerahan pada pembacanya, memberikan suatu tanda atau sinyal kehidupan yang tidak tertangkap secara kasat mata. Rangkaian kata yang disulam begitu indah oleh penyair seakan hidup dan menantang pembaca untuk menafsirkan selaksa makna. Pada puisi KAU ini, KAU yang ditulis dalam huruf besar ini bukan mewakili TUHAN seperti pada umumnya penyair suka menulisnya, tetapi ENGKAU YANG ANGKUH (kutipan Jamal). Karena kalau kita menafsirkan Tuhan maka maknanya akan skeptis pada kalimat “sungguh aku tak peduli/bila KAU masih ada/di setiap…”

           

Epri mengajak kita merenung tentang kondisi sosial masyarakat kita saat ini, dimana harga-harga yang melambung, sehingga  sering membuat langkah kita ini terseok dalam luka dalam yang perih.   Dalam tipografi yang dibuat di atas dimana kata “langkah , sering, terseok” dicetak dari atas kebawah menyiratkan bahwa kebijakan-kebijakan yang datang dari atas (pemerintah) , sering membuat masyarakat menjadi terseok (tipografinya melengkung menyiratkan bagimana kita jalan dengan terseret gontai). Selanjutnya karena sudah seringnya kita menerima kebijakan yang demikian parah, menjadikan kita menjadi tak peduli, acuh tah acuh, cuek (emang gue pikirin! ) dengan “sungguh aku tak peduli bila KAU masih ada di setiap tetes air mataku”.

            Sajak yang perih dan dalam bahwa pada akhirnya kita hanya bisa pasrah terhadap kondisi sekarang ini.

 

            Di samping puisi kedalaman jiwa dan kritik sosial serta kematian, Epri juga membuat indah rangkaian kata selarik puisi tentang kerinduan dalam cinta.

 

            Dentingan lembut gitar Andra mengiringi nyanyian Sempurna memeluk malam yang semakin larut dalam sajak Sebening Embun Sehangat Kopi.

 

Cinta menetes bersama embun

Mengepulkan larik rindu

Di atas seduh kopi

 

Mengerjap mentari

Mengayuh sepi

 

            Malam ini saya menikmati capucino sambil membayangkan kerinduan di asap yang mengepul. Dalam sepi rindu biasa datang dan saya menikmati sampai tuntas minuman dengan helaan nafas, dan tanpa sadar mengirim sms, tak seberapa lama bunyi siulan dari hp menandakan sms jawaban masuk. “Jam sgn belum tidur, lg ngapain?”, sedang menyetubuhi puisi, jawaban nakal kukirim. Tak lama hp mendering lirih , dan kemudian suara mbakyu dari Jember nyerocos rame. “Aku ada pesanan catering, makanya belum tidur dan kowe, walah edan! masih nulis puisi toh !”.

 

            Sepertinya puisi dengan judul Ibu merupakan puisi wajib yang harus dibuat oleh banyak penyair. Ya,Ibu adalah muara dari segala muara. Epri menulis puisi untuk dipersembahkan pada ibunya sampai 3 puisi. Semua sajaknya saya suka, sederhana, dalam makna dan kerinduan saya terhadap almarhum ibu malam ini menjadi lekat dan mencengkeram laksana vampire mencekik leher.

 

Ibu

 

1/

engkau adalah jutaan dongeng

yang mengantarkan malamku dari bintang ke bintang

 

2/

aku guratkan jutaan kata

                               untuk menutup malam

 

ibu hanya ajarkan satu kata

                              untuk menatap matahari   

 

            Pada Jum’at malam itu puisi ini dimusikali dengan iringan alat musik sintren. Mendengarkan dentingan senar sintren dengan melantunkan tembang irama mendayu sang sinden menyanyikan dengan penghayatan penuh, membuatku ikut hayut.

 

            Pendakian gunung Gede yang pernah dilakukan penyair ini , dituangkan dalam 4 puisi. Salah satu puisi yang berjudul Edelweis mengingatkan saya pada laku masa lalu, suka mendaki gunung bila resah hinggap di dada. Dan memory menari membuka masa pendakian di Semeru, rebah di hamparan edelweiss, ketika kehilangan seseorang untuk selamanya. Petikan gitar dalam lagu Hanya Untuk-Mu dari Ten2Five mengalun lembut menjerat saya terhisap di masa lalu sejenak.

 

Edelweis

 

1

engkau adalah kumpulan kabut

yang terhimpun di puncak sepi

 

membawa pesan keabadian

untuk terus mendaki kehidupan

 

2

batu dan kawah itu bersaksi, kau adalah

campuran dari desir impian para pendaki,

gumam dingin kabut, letupan magma belerang,

dan titisan pena awan yang merindukan

bumi

 

            Tiang Listrik di depan rumah dipukul satu kali, menandakan sudah jam satu dini hari. Mata sudah tak dapat diajak kompromi lagi, saya menyudahi dengan tuntas semuanya. Hanya satu yang dapat saya ucapkan “rangkaian katanya indah , tenang dan dalam”

 

Cover belakang tercetak hasil fotografer Wib dengan judul Sepi yang menggambarkan jejak kaki di pasir dan di bawahnya tercetak tiga baris puisi berjudul Berlari.

Berlari.

Aku berlari pada puisi

lalu kami saling mengurai nyeri

dan begitu sibuk mengumpulkan air mata.

 

Suatu pasangan gambar dan puisi yang menyiratkan pendalaman arti yang sama.

 

            Saya berharap Epri tetap  membetuk jati diri dalam penciptaan puisi, tidak mengikuti trend sekiranya itu tak perlu. Jangan gadaikan imajinasi dan kreativitas pada keadaan semu. Karena banyak kata bisa disulam menjadi roh  demi menyampaikan “sesuatu yang sunyi” dalam hidup ini.

 

Bogor, sabtu 26 Juli 2008 dan minggu 27 Juli 2008 dini hari 01.00 wib.


www.geraibuku.com

Baca perbualan