Macam Mana Nak Cari Jodoh di Malaysia?

900k ahli di sana sedang mengunggu anda di Baitul Jannah. Mungkin.. jodoh awak ada sana.

Daftar Sekarang!

Menemukan Islam dalam "30 Hari Mencari Cinta"

 

Di petik dari Jonru


"Saya ingin menulis novel, tapi saya hanya mau menulis yang Islami. Masalahnya, sekarang novel-novel Islami sudah tidak laku dijual. Penerbit Islam pun sudah tak mau menerbitkannya. Bagaimana dong? Saya kan tak mungkin menulis teenlit atau cerita-cerita populer lainnya yang sangat tidak Islami itu?"

"Bagaimana caranya agar novel Islami yang saya tulis bisa diterbitkan oleh Gramedia atau Gagasmedia?'

Saya tersenyum. Ada teman yang berkata bahwa sebenarnya prospek novel Islami saat ini sebenarnya masih sangat cerah. Ini bertentangan dengan pertanyaan di atas. Tapi okelah. Kita tidak sedang membahas itu. Kita anggap saja isi pertanyaan si teman di atas benar semua, agar kita bisa lebih fokus dalam membahas masalah yang sebenarnya.

Mendengar pertanyaan di atas, saya langsung bertanya pada mereka, "Kamu pernah menonton film '30 Hari Mencari Cinta'?"


"Ya, saya tahu."

"Menurut kamu, film ini Islami atau tidak?"

"SANGAT TIDAK ISLAMI!" jawab mereka kompak.

Saya tersenyum lagi. "Sekarang saya coba mengutarakan pendapat saya, ya," ujar saya. "Tapi tolong jangan dipotong dulu sebelum selesai."

"Oke."

"Begini. Film '30 Hari Mencari Cinta' berkisah tentang 3 orang gadis yang merasa prihatin atas nasib mereka, karena belum juga punya pacar. Mereka sampai dijuluki lesbi, dan mereka menganggap hidup mereka aneh. Akhirnya, mereka sepakat untuk taruhan. Mereka harus mendapatkan pacar dalam hitungan 30 hari. Siapa yang tidak berhasil, maka akan menjadi pembantu di rumah mereka selama sebulan penuh."

"Hm... lalu di mana letak Islaminya?" potong si teman.

"Tunggu, jangan potong dulu. Saya belum selesai."

"Oke."

"Nah, ketiga gadis ini pun mulai 'hunting cowok'. Dalam proses mencari pacar itu, mereka bertiga sering berselisih, salah paham sehingga memicu pertengkaran. Mereka pun musuhan, tidak akur lagi. Padahal dulunya mereka sangat akrab, sudah seperti saudara.

Di akhir cerita, mereka sadar. 'Kenapa kita jadi musuhan dan tidak akur gini, gara-gara cowok? Kita kan sahabat?'

Akhirnya mereka sadar, bahwa ternyata persahabatan itu JAUH LEBIH BERHARGA KETIMBANG PACARAN.

'Enggak usah deh, kita mencari cinta. Nanti kalau sudah tiba saatnya, cinta akan datang sendiri menghampiri kita. Benar, kan?' ujar salah seorang di antara mereka."

* * *

Setelah bercerita seperti itu, saya pun menjelaskan, "Kalimat yang saya beri warna biru di atas, adalah sebuah pesan moral yang disampaikan di akhir film ini. Saya percaya, ini adalah pesan moral yang sangat Islami. Jadi, dari segi tema, film '30 Hari Mencari Cinta' adalah film Islami."

Mendengar penuturan saya itu, kedua teman sepertinya mulai paham. Tapi mereka protes lagi, "Tapi film ini kan penuh oleh adegan-adegan yang tidak Islami, gaya hidup hedonis, hura-hura, dan sebagainya. Bagaimana dong?"

"Begini," ujar saya. Seandainya - ini hanya seandainya lho... - kamu diperbolehkan menulis ulang kisah '30 Hari Mencari Cinta' dalam bentuk novel, coba lakukan hal berikut:

Tulislah cerita yang sama persis, dengan tema yang sama, tokoh yang sama, pokoknya semuanya sama. Tapi gaya hidup yang hedonis, hura-hura dan sebagainya tadi, coba diganti dengan hal-hal yang lebih sopan.

Nah, sekarang saya mau tanya: Bila novel '30 Hari Mencari Cinta' versi kamu ini dikirim ke penerbit Gramedia atau Gagasmedia, apakah ada kemungkinan mereka akan menerbitkannya?"

"Hm, saya cukup yakin, mereka akan menerbitkannya."

"Bagus!" Saya tersenyum puas. "Bila mereka menerbitkannya, maka Gramedia atau Gagasmedia telah menerbitkan sebuah novel Islami tanpa mereka sadari."

* * *

Teman...

Saya yakin kamu sudah bisa menangkap poin penting dari pembahasan kita di atas.

Selama ini, kita sering terjebak oleh pikiran bahwa cerita Islami itu haruslah cerita yang penuh oleh simbol-simbol Islam. Di dalamnya ada tokoh perempuan berjilbab, tokoh-tokohnya Islam semua, isi ceritanya tidak jauh-jauh dari pengajian, masjid, ROHIS, dan seterusnya. Banyak dialog yang menggunakan kata-kata assallamualaikum, astaghfirullah, masya Allah, dan seterusnya.

Kita lupa, bahwa ISLAM ITU UNIVERSAL.



Saya belum membaca Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (hm... saya emang kuper ya?). Tapi banyak teman yang berkata bahwa novel ini Islami. Novel ini diterbitkan oleh sebuah 'penerbit umum', bukan 'penerbit Islam'. Di covernya juga tidak ada tulisan 'novel Islami' atau semacam itu. Penulisnya juga bukan warga FLP. Tak pernah ada orang yang memberi label 'sastra Islam' atau semacam itu terhadap Laskar Pelangi.

Tapi coba simak sinopsis novel tersebut berikut ini:

Laskar Pelangi adalah sekumpulan anak yang lahir dan tumbuh di sebuah pulau kaya timah di negeri Indonesia. Namun, pulau yang semestinya kaya raya itu ternyata justru miskin tidak hanya dari sisi ekonomi, melainkan juga pendidikan. Di tengah-tengah keterbatasan fasilitas, anak-anak itu ternyata memiliki semangat belajar yang luar biasa tingginya. Membaca novel ini akan membuat kita tertawa, menangis, dan takjub mengetahui kegigihan dan kekreatifan anak-anak Laskar Pelangi dalam menjalani hidup mereka sebagai anak-anak Melayu.

Coba simak kata-kata yang saya beri warna biru. Apakah "semangat yang luar biasa tingginya" dan "kegigihan dan kekreatifan dalam menjalani hidup" bukan nilai-nilai Islami? Saya berani berkata, itu adalah nilai-nilai yang sangat Islami. Novel Laskar Pelangi - walau tak pernah ada orang yang memberinya label Novel Islami - adalah novel yang sebnearnya sangat Islami.

* * *

Teman...

Kita jangan mudah terjebak oleh simbol-simbol.

Laskar Pelangi dan 30 Hari Mencari Cinta adalah dua contoh nyata, bahwa cerita Islami bisa hadir di dalam sebuah cerita yang sama sekali sepi dari simbol-simbol dan label Islam. Kedua novel ini membawa pesan dan nilai-nilai yang sangat Islami, dan disampaikan dengan bahasa dan gaya yang universal.

Jadi, kenapa kita masih juga berpikir bahwa cerita Islami itu haruslah cerita yang menampilkan tokoh wanita berjilbab, yang settingnya di dalam masjid, ada adegan pengajian, dan seterusnya dan seterusnya??????

* * *

Kalau kita sudah memahami konsep yang sesungguhnya mengenai Sastra Islami atau Cerita Islami, saya kira pertanyaan seperti di awal tulisan ini tidak perlu dilontarkan.

Walau penerbitan cerita-cerita BERLABEL cerita Islami sedang lesu Walau pemerintah melarang penerbitan buku-buku Islam Walau FLP dibubarkan. Walau semua penerbit Islam telah bangkrut Walau Islam menjadi musuh utama semua umat manusia di seluruh dunia, dan siapa saja yang berani menunjukkan identitas keislaman mereka akan segera dibunuh

Itu semua bukan halangan. Dalam kondisi yang sangat buruk seperti di atas, kita tetap dapat menulis sastra Islami. Yang penting, kita paham tentang apa konsep Sastra Islam yang sebenarnya.

Maaf, kondisi-kondisi yang saya tulis di atas bukan doa. Itu hanya semacam brainstorming, agar kita semua lebih memahami konsep Sastra Islam yang sebenarnya.

* * *

Sebagai penutup, saya ingin bercerita tentang obrolan saya lainnya dengan seorang teman kemarin sore, masih via Yahoo! Messenger.

Si teman ini bertanya, "Saya boleh tahu, judul-judul buku Mas Jonru yang sudah diterbitkan?"

Saya pun menyebutkan judul-judul buku saya:

1. Novel Cinta Tak Terlerai

2. Kumcer Cowok di Seberang Jendela

3. eBook Menerbitkan Buku Itu Gampang

Si teman lantas bertanya, "Kalau buku yang bernuansa Islami, ada enggak?"

Saya tertawa ngakak mendengar pertanyaannya itu. Saya merasa prihatin, sebab sepertinya si teman ini langsung memvonis buku-buku saya tidak Islami, hanya dengan membaca judulnya.

Ya, saya tidak mau "memvonis" buku-buku saya itu Islami atau tidak. Biarkan pembaca dan Allah yang menilainya. Karena itu, saya sempat bingung harus menjawab apa.

Akhirnya, saya memberikan jawaban yang cukup tegas, dan saya harapkan bisa membuat si teman memahami isi pemikiran saya.

"Don't judge a book by it's tittle."

"Hehehe... benar juga, ya," ia sepertinya tersipu karena merasa tersindir. "Boleh saya tahu, sinopsis singkat ketiga buku tersebut?"

Saya pun memberikan alamat website yang berisi sinopsis dan promo ketiga buku itu.

Beberapa menit kemudian, si teman berkata lagi, "Wah, ternyata Islami juga, ya."

Saya tidak tahu dari mana ia berkesimpulan seperti itu. Mungkin dari isi sinopsisnya, mungkin dari covernya yang menampilkan perempuan berjilbab.

Hehehe....

Walau itu adalah buku saya sendiri, saya secara objektif mengatakan bahwa sinopsis dan cover sama sekali tidak bisa dijadikan patokan untuk "memvonis" sebuah karya itu Islami atau tidak.

Tapi tragisnya, si teman berani menyebut buku-buku saya Islami, hanya setelah ia membaca sinopsis atau melihat covernya.

Maka, agar si teman ini lebih paham tentang "Islam yang sebenarnya", saya menjelaskan lagi:

"Buku ketiga saya - Menerbitkan Buku Itu Gampang - adalah buku nonfiksi yang di dalamnya sama sekali tidak ada simbol-simbol Islam. Buku ini saya tujukan bagi kalangan umum. Tapi buku ini penuh oleh panduan-panduan yang bermanfaat bagi pembaca.

Nah, ketika kita memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi pembaca, apakah itu Islami atau tidak?"

"Ide brillian!" ujarnya.

Saya berharap, sekarang si teman mulai paham, apa sebenarnya konsep "Islami" yang sesungguhnya.

Cilangkap, 18 Desember 2007
Jonru


Baca perbualan