Segenggam Awan yang Indah

 

    Ketika surya berdiri di belakang mega. Ketika itu pula burung-burung bernyanyi mesra. Cuit-cuitnya menari-nari. Di atas bukit. Di atas langit. Di atas sengitan udara yang sakit. Bukankah surga kini ada di dunia?. Bermimpikah aku melihat burung yang bercanda dengan langit? Dan bercandakah bumi menggulungku di dalam bola?. Betapa syahdunya gurat mega disana merangkai mesra. Aku tak bercanda. Ini benar-benar ada. Coba liat keluar sana, Betulkan?!.

    “Vi..vi..kesini!”

    “Iya bentar!”

    Vi pun datang

    “Coba lihat awannya. Mirip apa?”

    “Yang mana?”

    “Itu yang disebelah awan yang sana,”

    “Yang mana sih?! oh yang itu toh. Kaya gurita yah!”

    “Gurita dari mana? Orang kaya gambar bintang kok.”

    “Ah ngasal kamu Vai, itutuh sudah jelas-jelas gurita. Masih belajar ngarang lagi kamu.”

    “Aku gak ngarang ,Vi. Coba perhatikan sudut garisnya ada lima. Satu, dua, tiga , empat, lima. Nah..benerkan ini gambar bintang.”

    “Iya..yah! Beneran gambar bintang. Indah bener (subhanallah).”

    Aku menyukai keindahan alam. Bagiku awan adalah surga yang tak sekedar mampir di dunia. Awan adalah gumpalan udara yang membuatku jatuh cinta. Awan juga tak pernah berdusta ketika dia merasakan duka. Sungguh awan adalah udara yang sempurna. Ketika mendung pun awan tetap terlihat mewah. Padahal awan tidak ada harganya.

    “Ayah…Ayah.”

    Ayah datang dengan menggunakan tongkat.

    “Coba liat Yah, awannya indah yah?!”

    “Iya indah sekali. Sampai baunya tercium kesini.”

    “Andai saja Vai bisa nyentuh awan ,Yah!”

    “Tenang saja anakku, nanti malam ayah ambilkan awan untukmu. Saat awan sedang tidur, akan ayah culik dia.”

    “Seperti Sungokong yah!”

    “Iya anakku, seperti Sungokong si Raja Kera.”

    “Horeeee!!!” Vi yang mendengarkan pun ikut senang mendengarkan itu bersamaku.

    Memoriku bersama Ayah ketika aku dan Vi masih kecil. Sungguh terasa indah, biarpun bunda tak ada-- Ayah selalu bercanda. Ketika itu aku tahu ayah tak mungkin bisa membawakan awan ke dasar tanah. Aku juga tak bodoh untuk di bodohi ketika aku masih kecil. Ranking 1 saat kelas 5 SD bukanlah gelar yang mudah untuk kuraih. Namun aku yang masih anak kecil saat itu tetap saja senang berharap. Wajar bila aku selalu menagih janji pada Ayah. Setiap malam aku merajuk.

    “Ayah..ayah.. mana awannya?”

    “Iya ,anakku. Nanti malam Ayah ambilkan awannya. Habisnya awan tak
pernah tidur sih. Kerjanya setiap malam hanya menangis dan menangis. Makanya berdoalah pada tuhan agar awan tak menangis lagi.”

    Sebenarnya aku tak percaya. Dalam hatiku, mungkin itu hanya bualan Ayah saja. Aku hanya tak ingin Ayah menjadi pembohong seperti Bunda yang tak pulang-pulang kerja hanya untuk menyetor wajahnya. Setiap malam aku merajuk dan merajuk. Dan jawaban ayah selalu sama setiap harinya. Hingga satu malam aku menangis bersama Vi.

    Ayah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit pada kami berdua. Kami seperti sebatang kara. Selama 7 hari Pak Omon tetangga kami selalu memberi kami makan ala kadarnya. Tetangga yang sungguh baik. Biarpun wajahnya sangatlah buruk rupa namun hatinya bening seperti jelaga surga. Padahal dia punya anak yang harus diberinya makan. Dan anak itupun bukan anaknya, melainkan anak yang ditinggalkan kedua orangtuanya.

    Ayah entah pergi kemana. Dia pergi meninggalkan luka. Menyayat hatiku dengan segenggam dosa. Aku dendam pada Ayah kala itu. Hingga sepuluh tahun berlalu, aku menyimpan dendam pada Ayah serapat barisan semut dalam mencari makan. Aku benci dengan kebodohan Ayah yang pergi karena malu tak berhasil mendapatkan awan, padahal aku hanya ingin mengujinya yang sedang berbohong untuk jujur. Apa susahnya.

    Kini aku sudah besar, aku sudah berjanggut lebat. Punya banyak sahabat, karena aku bekerja sebagai birokrat. Dendamku sudah tak lagi berkoar seperti kala itu. Aku hanya tak tahu kalau ayah berusaha memberi tahuku melalui sebuah mimpi. Mimpi yang awalnya kuacuhkan karena aku benci padanya. Mimpi yang bercahaya ketika aku berhadapan dengannya. Dan mimpi yang merupakan sebuah pesan dari Ayahku tentang segenggam awan. Segenggam awan yang indah.

    Ayah datang kedalam mimpiku, badannya mengepul . Bersinar dengan benderang dengan wahana putih di sekelilingnya. Terdengar desir angin menggurui. Mendesah dalam sayu suara sendu.

    Ayah muncul dari balik asap, mendepak kabut dengan sentil tiupan nafasnya. Menggeser pintu dengan senyumnya. Berjalan dengan gontai melabrak serpih-serpih putih. Menyentuh dinding yang ternyata langit. Menapak bumi yang terlihat putih. Tak sampai dia berjalan ke hadapku. Gerbang awan menyedotnya kembali. Dia tak menjerit meminta tolong. Dia malah tersenyum dan coba melemparkan kata. Kata yang terdengar samar. Kata yang terlantun sumbang. Dan kata yang terlampau mesra. Yang kudengar hanya 2 kata di tengahnya dari
6 kata yang diucapkannya.

    “..segenggam awan..”

    Kata yang selalu kuingat dan selalu kuharap mimpi itu terulang lagi. Mimpi yang mengajari aku untuk mencintai ayahku kembali. Kupejamkan lagi mataku ‘tuk memaksa ilham berlari mengejar mimpi itu. Aku meronta sekuat tenaga di atas lelap yang tak terjaga. Mengarung luas fantasi jiwa. Menembus dimensi ruang. Menghantam getar-getar yang berlaga. Dan kembali kepada mimpi itu kembali. Kembali pada saat dia mengucapkan kata.

    Enam kata yang indah dari seorang ayah. Untuk anaknya tercinta. Yang membuatku bahagia. Yang membuatku merasa terjaga. Merasa di perhatikannya. Dan merasa di nina bobokannya.

    Enam kata yang bersahaja. Membuatku langsung percaya. Karena bisikannya benar-benar terasa. Hingga bulu kudukku meruas. Melambai dengan keras. Dan melemas dengan halus. Aku kini percaya setelah kuberlari keluar dan menatap ke atas. Kubangunkan Vi yang sedang terlelap di sampingku dengan mulut menganga. Dan berlari kembali keluar dengan hati bahagia.

    “Vi ,Ayah datang!” seruku semangat.

    Vi terbangun dengan cepat dan merasakan bahwa mimpi itu menghampirinya juga. Dia juga percaya dengan apa yang diimpikannya. Tangis bahagia menderai di kedua pipinya. Dia tidak marah ketika aku meronta saat memaksa ulang kembali mimpi itu. Dia takut aku tak percaya. Padahal mimpi kita sama. Dengan semangat aku dan Vi pergi ke teras rumah. Menuju pintu. Dan menarik gagangnya.

    “Ayah!” kami berdua saling memandang dan menitikkan air mata bahagia.
Dia berdiri ,menggumpal di depan pintu. Lima kata yang indah dan membuatku merasa keluarga yang bahagia.

    “Ayahmu adalah segenggam awan yang indah.”

 

NB:

cerpen ini diposting juga di salah satu web komunitas penulis www.kemudian.com dengan penulis saya sendiri.

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Lain-lain

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) apa maksud kamu “Ayahmu adalah segenggam awan yang indah.” ?

  • (Penulis)
    2) prinsip cerpen yang kuketahui adalah menyerahkan kelanjutan endingnya pada pembaca. mau menganggap ayahnya adalah segenggam awan yang indah boleh, menganggap yang lain pun boleh. sah sah saja.
    hehehehe
  • 3) ooo begitu ya. hahaha
  • 4) awan + ayah = indah :)
  • 5) walah, anak kemudianers nih.. met datang yah. maaf baru baca nih.
    plotnya bagus. isi ceritanya bagus dan mengajarkan juga.... good.

    :)

Cerpen-cerpen lain nukilan rey_khazam

Read all stories by rey_khazam
No stories.