LANTAI 50

 

Sejatinya cerpen-cerpenan ini saya buat hampir 4 tahun yang lalu..hehehehe...semoga berkenan dan mohon masukannya


Dipuncak gedung bertingkat 50 itu, aku terus melangkah. Pelataran puncak gedung itu sangat sepi, tidak ada seorangpun yang berada disana. Memang aku masuk secara diam-diam ke gedung perkantoran yang baru jadi itu, dengan menghindari satpam, dan mengecoh pengaman yang ada. Perasaanku bercampur aduk, antara rasa takut, putus asa, amarah, sedih, gamang dan entah apa lagi yang membuncah dalam hati ini. Aku terus melangkah menuju bagian pinggir puncak gedung tadi….matahari mulai beranjak ke barat berangsur-angsur, seiring dengan mulai lelahnya aktivitas dibawah sana.

Kemudian, menjejaklah aku ke pinggir dinding bagian atas. Sejurus aku berdiri diatas, dan dari situ aku dapat melihat pemandangan yang sangat indah. Gedung-gedung pencakar langit di sekeliling gedung tempat aku berpijak ini mulai tertutup siluet senja, mobil-mobil yang menyemut dibawah seolah sangat kecil dibawahku, sempat menciutkan nyali, apa aku akan hancur jika sudah menerpa tanah dibawah sana?…. Suara-suara dalam hatiku terus membahana dalam jiwa, iya atau tidak aku lakukan ini.

Aku ingin lepas dari persoalan dunia yang menghimpit ini

Biarkan saja badanku hancur menghempas bumi

Biarlah semua tulang belulangku remuk redam seiring terbangnya sukmaku

Aku ingin bunuh diri

Kuingin segera akhiri catatan hidup yang kelam ini

Itulah gaung-gaung yang meraja di sanubariku kali ini, makin kuat dan kian menguasai kisi-kisi jiwaku.

Aku sudah bersiap-siap melompat dari gedung bertingkat itu, beriring dengan matahari yang kian senja kala petang, dan angin yang mulai kencang berhembus, dingin , ketika tahu-tahu ada suara yang memanggil entah dari mana.

“Tunggu!” seru suara yang ternyata milik seorang pria.

Diantara kebimbangan itu, aku menoleh ke arah suara tadi. Dari mana suara itu, aku rasa tak ada seorangpun disekitarku, aku yakin sekali. Suara itu berasal dari seseorang yang terus melangkah mendekatiku. Tidak jelas, datang darimana dia.

“Berhenti, Tunggu!” kata dia lagi

Aku tatap untuk kemudian terkesiap setelah sosok tadi mulai jelas terlihat, aku pandangi sosok lelaki tadi. Sosoknya tinggi besar, wajahnya sangat tampan bagaikan patung dewa Yunani berpenampilan perlente, lengkap dengan dasi serta kemeja celana yang nampaknya mahal, usianya kuperkirakan sekitar 30 tahunan. Pendek kata dia nampak seperti seorang eksekutif muda yang sukses, dengan potongan rambut yang sangat trendi, mengikuti jaman, klimis dan bersih. Namun wajah itu terlihat mengeras dan sorot matanya memancarkan amarah, seolah hendak menelanku mentah-mentah. Dia terus mendekatiku dengan langkah-langkahnya yang tegap hingga jaraknya denganku hanya 1 meter.

Tiba-tiba aku merasa takut, entah mengapa suasananya menjadi mencekam, kenapa orang ini menatapku begitu. Dalam ketakutanku aku bertanya.

“S..s..ssiapa?”

Lelaki tadi hanya diam…pertanyaanku tidak dijawabnya. Dia terus memandangiku dengan tatapan yang aneh. Dan dia terus mendekat, sementara angina makin kencang diatas sebuah gedung bertingkat 50 yang tinggi, hanya kami berdua. Lelaki berpakaian rapi tadi akhirnya membuka suara.

“Nanti” jawabnya dingin

Aku terdiam, siapa dia…kenal saja tidak, dan memang siapa dia, aku merutuk dalam hati. Hanya dalam sanubari…

“Mas, apa yang mau anda lakukan?” Tanya lelaki tadi lugas.

Dia seperti memaksaku untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya. Lelaki itu memberi isyarat kepadaku untuk duduk di sebuah bangku kecil yang biasanya dipakai oleh para satpam. Aku bagai kerbau yang dicucuk hidungnya menurut saja dan akhirnya duduk, meski sebenarnya aku berontak. Lelaki perlente tadi kemudian duduk disebelahku. Kenapa seolah aku tersihir, tunduk saja dengan perintahnya, lelaki tadi kemudian memandangiku seperti dia mencari tahu apa yang ada dan bergejolak dalam hatiku saat ini. Tidak ada seorangpun yang dapat kuajak berbicara, dan hanya lelaki ini yang kemudian seolah berusaha menjadi teman bicara akan tetapi dia juga seperti menjaga jarak, dan dingin bagaikan es kutub. Lelaki itu kemudian bertanya lagi, “Ada masalah apa?” singkat namun seperti mendesakku untuk menjawab. Dengan berat aku menjawab :

“Aku mau cepet-cepet mati…” aku menghela nafas berat, sementara si lelaki tadi seolah menunggu jawabanku selanjutnya. “Aku sudah tak tahan lagi dengan semua himpitan hidup yang sudah rasa sekian lama ini.” Sekali lagi aku menarik nafas, membungkukkan badan dan memegangi kepalaku seolah hendak aku benturkan saja ke lantai.

“Aku..aku sudah enggan hidup…..Hidupku sudah hancur. Aku di-PHK dari pekerjaan yang aku geluti selama ini,. Mana untuk hidup, aku harus ngutang sana-sini. Dosaku apa-apaaa? Tuhan…Tuhan tak adil!” seolah menyalahkan Tuhan. Tak lama, airmataku meleleh, aku menangis sesenggukan seperti anak kecil.

Lelaki tadi kemudian makin mendekat, dia  menepuk bahuku seraya berkata

“Mas, sudah berapa lama sih dalam situasi seperti ini hingga ingin bunuh diri?”

Aku diam, memilih untuk tidak menjawab. Rasanya aku enggan untuk bercerita. Terbayang semua kejadian-kejadian yang sudah terlewat, bagaimana keputusasaan menjadi raja, “Ah, nyaliku hilang untuk hadapi hidup ini.”

Lelaki perlente tadi melepaskan tepukannya, dia menatapku lagi seperti marah, namun dia bertanya lagi :

“Kenapa anda lakukan ini, kurang kerjaan apa?” seperti hendak menelanku bulat-bulat tanpa sisa. Aku seperti tersihir sesaat.

Entah aku tiba-tiba seperti tersulut emosi, aku berdiri dari dudukku.

“Heh! Aku mau mati ya biarkan saja! Kenapa anda malah marah-marah? Emang anda itu babe gue! Mendingan urus saja persoalan anda sendiri, jangan urusin aku yang sudah tidak berguna ini, aku cuma ingin mati-mati-matiiiiiiiiiii!!!!!! Aku semakin terbakar berbaur dengan airmata yang sudah kering.

Aku pandangi lelaki tadi dengan segala gelegak bara.

“Mau apa anda? Kenapa anda ikut campur dengan urusan pribadi saya? Mau mati kek mau ancur kek, kan badan-badan aku sendiri” sambil aku busungkan dadaku seolah siap untuk mati, sambil kembali melangkah menuju pinggir dinding lantai 50.

********

Lelaki tadi tetap diam, diam dalam kemarahannya. Dia seperti tidak rela aku melakukan hal itu. Selubung hening makin mencekam seiring malam yang mulai turun.  Melihat aku bergegas menuju sana, dia pun berlari dan menelikungku dari belakang. Aku meronta-ronta sambil teriak, “Lepaskan aku! Lepaskan! Aku mau mati!!!!, cengkeramannya kian kuat. Bau parfum yang mahal menyeruak dari badan lelaki tadi.

 “Apakah tidak ada jalan lain, daripada anda mati konyol seperti itu, heh-heh?” katanya sengit dan matanya melotot tajam ke arahku..nafasnya juga terasa ditelingaku.

Dengan nada emosional, “Mas nggak ngerti bagaimana rasanyamenderita selama ini? Kehilangan pekerjaan, kehilangan wanita yang dicintai! Aku kehilangan semuanya! Aku malu untuk pulang ke rumah keluargaku! Malu-malu!” terputus, aku menghela nafas mengingat kejadian yang sudah berlangsung 5 bulan berselang.  Teringat dimana Mina akhirnya menikah dengan Juragan Darman yang sudah digadang-gadang sekian lama oleh Pak Marto, ayah Mina.

“Tenangkan dulu hatimu, Mas” kata lelaki tadi, sembari mengendorkan telikungannya. Dibawanya aku kembali ke kursi tempat kami berdua duduk tadi, aku lemah…karena kelemahanku sendiri. kulihat raut wajahnya mulai melunak dan nada suara yang lebih tenang daripada tadi, dan sedikit tersenyum, senyum yang mungkin bisa membuat kaum wanita jatuh hati. Sementara malam mulai menyeruak, aku melihat burung-burung malam mulai berkeliaran. Kerudung gelap sudah mulai menyelimuti lantai 50 tempatku dan lelaki itu bertemu…..semakin gelap dan gelap, ketika tiba-tiba. GLAARRR! Terdengar suara lampu diaktifkan…kini lantai 50 seolah bermandi cahaya. Namun aku dan dia tidak bergeming sedikitpun. Tetap berada dalam posisi masing-masing.

********

Entah mengapa aku seperti menemukan telaga yang jernih, dan orang misterius tadi tiba-tiba rasanya bisa aku percayai. Entah apa yang terjadi dalam kalbuku, orang misterius ini seolah sahabat lama yang sudah kenal bertahun-tahun sehingga aku beberkan semuanya. Lelaki tadi hanya diam, mendengarku dengan penuh perhatian…

“Apa yang aku usahakan selalu saja gagal, entah kenapa ini bisa terjadi. Aku pernah berupaya berdagang dengan uang pesangon yang kuterima, hanya beberapa bulan sudah bangkrut. Entah sudah berapa banyak usaha saya yang akhirnya menemui ajalnya? rasanya Mas, aku putus asa sekali, aku malu bertemu keluargaku di kampung”

“Entah bagaimana harus menghadapi semuanya ini Mas, Tuhan rasa-rasanya tidak adil.” Sekali lagi, kuucapkan kata Tuhan tidak adil. Kenapa ya hanya kesialan dan kegagalan saja yang menimpa” Keluhku, sambil menghela nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri dari semua beban itu.

“Aku juga menghadapi masalah biaya hidup Mas, uang simpanan sudah nyaris habis. Untuk meminta orangtua juga,….. malu, aku tak mampu lagi untuk membahagiakan mereka. Aku malu pulang, sementara tuntutan yang datang makin kuat”

Lelaki yang kini duduk disebelahku hanya bergumam tidak jelas. Siluet diwajahnya semakin menambah nuansa cekam. Dia hanya menerawang kearah langit. Aku kemudian tersadar, bahwa sejak tadi lelaki tadi hanya diam. Aku lupa menanyakan namanya, aku lupa berkenalan dengannya. Aku terlalu tenggelam, larut dalam semua kesedihan dan ratapan yang menganaksungai seolah lingkaran setan sehingga lupa dengan lelaki tadi, aku lupa memperkenalkan diriku padanya. Aku menoleh kearah wajah seperti Dewa Yunani itu, dan kemudian  aku bertanya

“Oh iya Mas, perkenalkan namaku Sofyan. Maaf, kebanyakan bicara. Mas siapa?” Sambil mengulurkan tanganku, sementara angin masih mendesau kencang.

Dengan mantap, lelaki itu menjabat tanganku, dan menatap wajahku. Jabatan tangannya dingin, sedingin es. Ah, barangkali dia juga kedinginan, kan puncak gedung ini berangin pikirku….”Namaku Bramantyo, panggil saja Bram”. Hening….kemudian dia melanjutkan “Apakah Mas masih ingin mengakhiri hidup?” menatapku lagi, seolah dia ingin menelanjangi diriku, merobek-robek busana harga diriku. Namun keinginanku masih mantap untuk mati, hanya mati jalan satu-satunya.

Saya terkesiap, mengapa lelaki tadi selalu menanyakan hal tersebut.

*******

Pergolakan antara bisikan malaikat, bertumpang tindih dengan bisikan setan yang mengoyak-ngoyak alam pikiranku. Aku tiba-tiba ada di persimpangan jalan.

“Mas Sofyan, boleh aku menceritakan sesuatu sebelum Mas benar- benar ingin mengakhiri hidup ini?” Tanya Bram, diantara bimbangku.

Malaikat dalam hatiku berkata : ‘Sofyan, masih banyak yang bisa kau lakukan dalam hidup, jangan lakukan hal nista itu.”

Sementara setan dalam hati : “Ayo, mati saja….dengan begitu kau pasti terlepas dari semua persoalan hidup ini, ayooo…ayoooo….ayooo….huahahahaha.

Malaikat, setan bergelut terus dalam jiwaku, aku makin bimbang.

“Mas,” Sapa lelaki tadi, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh padanya, wajah Dewa Yunaninya masih menatapku.

“Saya ingin bercerita tentang seseorang. Mungkin ini berguna bagi Mas nantinya, sebelum benar-benar memutuskan bunuh diri” Menghela nafas lelaki itu. Kemudian dia berdiri, sedang aku masih tetap ditempat duduk, dan ekor mataku terus mengikuti kemana lelaki itu bergerak. Menerka-nerka apa yang hendak diucapkan lelaki aneh tadi. Sementara malaikat dan setan dalam jiwaku terus saja bergelut memperebutkan jalan yang aku tempuh. Persimpangan itu makin jelas.

“Panggil saya Fian, Mas Bram”  kataku

Kami berdiam sejenak, kemudian Bram membuka suaranya, sambil memandang langit malam.

“Ini tentang seseorang yang sangat sukses dalam hidupnya”

“Dia masih muda, pada saat usianya baru 22 tahun, dia berhasil lulus dengan cumlaude. Kemudian, dia bekerja di sebuah bank internasional dimana seiring waktu mengantarkan dia ke tangga kesuksesan.” Bram diam sejenak, menatapku dan melanjutkan.

“Dia kemudian menduduki posisi director assistant hanya dalam kurun 3 tahun. Disanjung orang, dilirik banyak wanita, ditambah penampilannya yang menunjang. Diapun telah membawa bank internasional tadi menuju puncak belakangan ini.” Papar Bram sembari membetulkan dasi merah darahnya, serasi dengan bajunya yang berwarna merah marun.

Sementara aku hanya terdiam. Kini mulutku seolah terkunci rapat-rapat, ada rasa iri berbaur kekaguman, dan sebenarnya ingin aku berkata sesuatu, namun tidak bisa karena seolah lelaki itu menyihirku agar tidak berbicara sepatah katapun. Pelataran lantai 50 itu kurasa makin sepi, seiring malam yang mulai menyelimuti dan angin yang kurasakan makin kencang. Aku merasa sangat kedinginan, tapi….aku hanya ingin mendengar kelanjutan cerita Bram.

Malaikat dan setan hatiku terus saja bergumul.

“Semuanya semula berjalan baik-baik saja, namanya mulai dikenal dan karena kinerjanya yang bagus bahkan berulangkali orang itu dikirim ke luar negeri, hingga pergaulannya semakin luas, dan dia berkenalan dengan berbagai kalangan. Namun dalam perkembangannya, imannya tidak cukup kuat, sehingga dia makin hanyut dengan gelombang kesuksesannya itu. Dia mulai lupa diri”. Bram diam lagi, sembari duduk tepat didepanku. Duduk bersila, menghela nafas panjang. Aku merasakan hembusan nafasnya, dingin sedingin udara malam yang kian menyengat. Mata lelaki itu meredup.

“Dan kemudian?” aku berinisiatif bertanya.

Lagi-lagi malaikat dan setan berkelahi memperebutkan hatiku,  bisikan kebaikan dan kejahatan masih saja berkeliaran dalam rumpun-rumpun pemikiranku. aku masih antara menyimak cerita Bram, keinginan bunuh diri yang kesemuanya berbaur jadi satu dengan rasa-rasa lainnya.

“Dia berangsur menenggelamkan diri dalam dunia malam. Setiap gelap menjelang, dia selalu mengunjungi setiap area hiburan malam bersama rekan-rekan bisnisnya. Amanat yang dilimpahkan padanya mulai disalahgunakan. Berjudi, bermain perempuan, mabuk-mabukan, hingga lelaki sukses itu mulai mencoba-coba narkotika” Jelas Bram.

“Hampir setiap malam lelaki itu membawa perempuan ke rumahnya, dan anda tahu apa yang dilakukannya bukan?” Tanya Bram, sedang aku hanya mengangguk tanda mengerti. “Dan dia makin hari makin dalam tenggelam, bahkan kecanduannya pada narkotika dan perempuan makin menjadi-jadi, bahkan yang lebih buruk, diapun mulai mencoba berhubungan dengan sesama jenis. Aku terkesiap lagi “Ya Tuhan”, Bram diam sejenak sekali lagi, kemudian melanjutkan ceritanya “ Akibat semakin dalamnya dia terperosok kedalam lingkar setan itu. Sehingga dia kemudian berhubungan dengan Bede kelas kakap untuk memenuhi pasokan kesehariannya. Mulai Ganja, Heroin, hingga masuk pada Lexotan, bahkan sudah menjadi Bandar narkotika juga. Hhhhhh” Bram menghela nafas panjang sekali lagi. Sorot matanya kian sayu.

“Entah, sudah berapa banyak perbuatannya yang merugikan banyak orang. Dia sudah berani melakukan tindakan kriminal sebagai Bandar, karena tidak dapat menahan kecanduannya. Bahkan dalam satu minggu dia bisa melakukan pesta narkotika dan seks baik dengan wanita maupun pria.” Aku tiba-tiba bergidik ngeri, oh, betapa seramnya…. . “Hanya itu tadi, sebagai akibat pergaulannya yang salah kaprah. Bank tempat dia bekerjapun dirugikan reputasinya karena kelakuan lelaki tadi.”

Aku memotong, “Apa yang dia lakukan Bram?”

“Dia tiba-tiba pernah sakaw pada saat meeting dengan klien besar, sehingga akibatnya tender yang diharapkan dapat mendongkrak nama Bank itu akhirnya menguap begitu saja. Tidak hanya sekali dia berbuat itu. Acap dia membuat kesalahan dalam berbagai kesempatan, karena semalam masih sakaw” Bram kemudian menyandarkan badannya didinding. Sedangkan aku beranjak berdiri, dan memandangi Bram dengan perasaan aneh.

“Akibatnya, lelaki itu dipecat dari pekerjaannya dengan tidak hormat. Dia semakin terpuruk karena tidak pernah lagi mengingat-Nya. Bahkan semakin hari keadaannya semakin memprihatinkan karena mulai tergerogoti oleh narkotika yang dikonsumsinya setiap saat. Namun, dia tetap mempertahankan gaya hidupnya yang mewah itu, meski hartanya makin hari makin habis dan hutangnyapun kian bertumpuk”

Kami berdua diam lagi. Aku bergelut dengan pikiranku yang galau, dan masih menanti dengan sabar apa akhir cerita itu.

“Fian, kemudian lelaki itu sakit-sakitan, dan ternyata dia terdeteksi positif HIV, sebagai akibat dari perilakunya selama ini. Mabuk, Madat dan Madon (main perempuan). Dia tidak menerima kenyataan itu, dan ditambah debt collector yang selalu menterornya serta para pengedar narkoba yang mengejar-ngejar. Dia tidak ingat pada Tuhan, yang hanya dia ingat adalah bagaimana cara keluar dari persoalan ini sesegera mungkin.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku teringat pada diriku sendiri yang  sudah sekian lama tidak mempedulikan-Nya, entah sudah berapa lama aku tidak menghadap-Nya meski yang wajib-wajib sekalipun. Aku hanya punya satu sarung dan sajadah yang sudah mulai lapuk termakan jaman, dan berdebu karena lama tak kusentuh. Terbayang sajadah itu seperti menuntut pertanggungjawabanku karena lama tidak memakainya.

Bram melanjutkan, sambil mengangkat kakinya untuk bersandar di pinggir puncak gedung tadi. “Orang yang aku ceritakan ini juga telah berulangkali mencoba bunuh diri, tetapi usahanya selalu gagal, dan selalu ditemukan sehingga nyawanya terselamatkan.”

“Dengan cara apa dia bunuh diri, Bram” seperti ada kekuatan untuk bertanya dari mulutku.

“Dari mengiris pembuluh nadi, minum racun serangga, hingga  gantung diri, dia benar-benar gelap mata, Fian” ujar Bram masygul, sejurus dia menatapku dalam-dalam. Ada pancaran aneh yang aku sendiri tidak dapat menafsirkan, asing, dan sulit aku ungkapkan dengan kata.

Malaikat dan setan dalam hatiku masih bertempur, mereka masih terus membisikkan kepadaku.

Malaikat : “Fian, jangan kau lakukan. Masih ada waktu untuk memperbaikinya, ayo Fian, tegarlah, Allah Maha Pengampun. Kau belum terlambat.”

Setan : “Jangan dengarkan malaikat brengsek itu Fian, sudah…mati saja. Daripada selalu dikejar-kejar, dibebani masalah demi masalah. Sudah Fian, tunggu apa lagi. Ayo lompat saja…lompat..hahahahahahahahaahah.” seolah setan menawarkan telaga bagiku.

Aku….untuk pertamakalinya menyebut kalimat-Nya..”Ya Tuhan, bantulah aku” dalam sanubariku. Terbawa dalam arus pemikiranku, ketika Bram memutus ceritanya demi melihat keadaanku yang demikian.

“Fian…..fian” tegur Bram. Aku tersadar, dan kembali kupandangi wajah Bram. “Kamu nggak apa-apa kan?”.

“Nggak, terusin saja” jawabku sekenanya setelah tersadar dari lamunanku sendiri. “Lantas, kemudian apa yang dia lakukan Bram?”

“Diapun memilih terjun dari lantai tertinggi sebuah gedung bertingkat, dan….yah akhirnya hilanglah dia dari kehidupan ini, badannya hancur setelah menerpa aspal dengan kepala pecah, dan badan remuk..namun wajahnya tetap utuh” jawab Bram. Bram membelakangiku dan terus memandang kearah langit yang makin gelap.

“Namun Fian, ternyata kematian tidak serta merta membuatnya lepas dari masalah” tiba-tiba Bram menoleh, menatapku lagi dalam-dalam. Aku serasa kembali ditelanjanginya. Tiba-tiba mulutku terkunci, tidak dapat mengeluarkan suara apapun, Bram terus saja bercerita.

“Lelaki itu harus menghadapi kenyataan, terkatung-katung antara alam dunia dan alam akhirat. Dia belum diterima di alam barzakh sehingga dia sangat menderita menghadapi siksa yang amat sangat” Bram seperti tersedak saat mengucapkan kata terakhir itu. “Dia menyesal, namun sudah sangat terlambat”, sambil menggenggam kedua tangannya sendiri. Aku hanya bisa menganga…tidak berdaya, karena seolah badanku terbelenggu oleh rantai tak kasat mata yang sangat kuat.

Tiba-tiba aku seperti diperlihatkan bayangan seseorang yang disiksa oleh dua orang tinggi besar dan sangat menyeramkan. Kedua orang misterius itu tak henti-hentinya menghajar, menelikung, bahkan mencambuk orang tadi dalam bara…Aku semakin ciut, tak sadar…airmataku keluar lagi.

“Innalillahi” hanya itu yang terlontar pelan dari lidahku. Tiba-tiba, aku merasa takut. Takut akan kematian. Takut akan keputusan yang hendak aku lakukan, yang semula aku ingin sekali dan benar-benar harus.

“Fian, sebaiknya urungkan saja niatmu itu. Kau masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Jangan seperti orang tadi yang akhirnya terkatung-katung setelah kematiannya.” Bram seperti memberi peringatan kepadaku, wajah tampannya terlihat makin meredup, namun masih terus menatapku dalam-dalam.

“Apapun itu, bunuh diri bukan jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Hanya orang yang gelap hati dan mata yang mau melakukannya”  Bram kemudian mendekatiku, dan memegang pundakku sambil menatapku dalam-dalam lagi. Asing.

“Fian, coba kamu pikirkan sekali lagi niatmu itu. Apa harus aku tunjukkan padamu betapa pedihnya mati karena bunuh diri? Untuk apa semua itu, Fian?” Bram semakin mempererat pegangannya kepada pundakku dan kemudian, tiba-tiba dia mendorongku ke dinding.

Wajahnya serasa sehasta dengan wajahku, deru nafasnya bisa aku rasakan dari jarak tersebut, dingin…sedingin es. Dia menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepala, tangannya terasa dingin. Bram, siapa engkau? Kenapa kau tahu begitu dalam tentang orang itu.

“Jangan coba-coba kau lakukan Fian! Tolong, aku minta hentikan niatmu! Meski kau tidak mengenalku, tapi aku ingin paling tidak sekali dalam hidup untuk berbuat baik. Aku juga penuh dosa, dan hingga saat aku seperti ini aku belum bertobat.” Tiba-tiba Bram seperti naik emosinya.

“Aku belum bertobat! Aku belum bertobat!!!” seru Bram. Apa ini? Aku semakin bingung, antara bingung dan marah.

Seperti mendapat kekuatan, aku dorong tubuh Bram, dia tergeser ke belakang. Apa yang dia bicarakan? Kalimat apa itu?

“Bram! Maksudmu apa? Jangan bercanda!” tiba-tiba aku merasa takut, takut sekali dengan Bram. Kenapa dia berkata-kata seperti itu, kenapa? Namun seiring dengan itu, niatanku untuk bunuh diri tiba-tiba padam….aku tiba-tiba teringat ayah, ibu, adik-adikku, dan semua orang yang kusayangi, terlintas bayang-bayang mereka satu persatu bagai film yang diputar dihadapanku.

Bram terus berbicara.

“Fian, ini tidak bercanda! Aku sungguh-sungguh. aku tidak ingin kau bernasib sama seperti orang itu. Dia akhirnya harus menderita justru melampaui masa hidupnya. Pergilah Fian, pulanglah. Kamu belum terlambat untuk memperbaiki diri.” Kata Bram sambil memperbaiki posisi berdirinya.

Aku tiba-tiba terasa limbung, aku menyesali semua keputusanku. Teringat aku pada-Nya, dan dalam hati aku berseru

“Ya Tuhan, aku mengapa begitu bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Betapa rendah aku! Piciknya pikiranku! terima kasih Kau datangkan lelaki iniuntuk mencegahku mengambil jalan yang kau murkai. Terima kasih Tuhan.”  Aku seolah tersungkur di lantai semen lantai 50 tadi….aku berlutut sambil menyumpah serapahi diriku sendiri.

“Tuhan, ampun…aku ini mengapa begitu bodoh! Mengapa aku mengambil jalan ini!” ku pukul-pukulkan tanganku di lantai yang dingin itu. Sementara suara gagak berkoak-koak entah darimana asalnya.

Aku tidak mampu menahan emosiku, dan menangis tersedu-sedu. Sementara Bram mendekatiku, dan menepuk-nepuk pundakku sambil berkata lagi , “Fian, sudahlah. Tuhan sudah memberimu jalan. Pulang saja, hadapilah semuanya dengan ketabahan, dan jangan lupa, kembalilah kejalan-Nya, jangan seperti orang itu yang hingga akhir hayatnya belum bertobat dan menanggung akibat dari semua perbuatannya.” Suaranya seperti memberi hiburan kepadaku. Menyejukkan, namun terdengar kelu.

*******

Sekonyong-konyong aku dihadapkan pada sebuah jalan yang gelap, namun diujung sana ada cahaya berpendar-pendar meski lemah. Ingin aku menjangkau cahaya itu, ingin kumiliki ia. Harapan mulai terbit kembali setelah kulihat jalan itu.

Diantara tangisku, aku menatap Bram, dan tanpa diperintah lagi aku peluk lelaki yang telah menyelamatkan jiwaku dari niatan bunuh diri. Orang yang telah aku anggap sebagai sahabat sejati, meski aku baru kenal dan masih asing dengan jati dirinya.

“Bram, terima kasih kau mengingatkanku….jika tidak kau cegah, mungkin aku sudah hancur menghantam aspal dibawah sana…terima kasih!” masih dengan sisa-sisa tangisan dan airmata yang belum kering. Bram hanya diam, tidak membalas pelukanku, namun aku tahu dia tersenyum, kulihat juga kilatan kaca di matanya.

“Jangan kau pikirkan Fian, segeralah pulang…ayah ibumu menanti dirumah. Ayo” kata Bram sambil melepaskan pelukannya. Kami berhadap-hadapan sekali lagi, aku masih penasaran siapa orang yang dia maksud.

“Bram, siapa orang yang kau maksud dalam ceritamu itu?” Tanyaku sebelum berbalik pulang.

“Nanti kamu akan tahu sendiri, Fian,” jawab Bram sambil tetap tersenyum, tapi senyuman yang getir dengan pancaran duka yang entah mengapa menyeruak dari sorot mata itu.

“Bram, sekali lagi aku berterimakasih dan berhutang nyawa padamu. Aku telah melihat gambaran itu, dan…dan…aku tak mau menjadi seperti itu. Siksaan-siksaan yang tak berkesudahan dialam sana, aku…aku ingin kembali. Kembali menata hidupku, dan mungkin untuk soal hutang itu aku harus berterusterang kepada keluargaku. Semoga ada jalan terang dari-Nya.” Kataku dengan nada optimis yang makin menjerujak hatiku. Aku lupa, kalau selama ini masih ada jalan, hanya saja aku terbutakan oleh nafsuku sendiri.

Sementara malaikat dalam hatiku tersenyum penuh kemenangan, sambil berkata “Sudahlah Fian, segeralah pulang. Pintu bagimu kini terbuka lebar, mintalah ampun pada-Nya”. Demikian bisikannya bergema dalam relung jiwaku.

Aku ingin segera pulang, kemasi semua barang, ingin ku kembali ke kota asalku segera menemui keluargaku dan meminta maaf kepada mereka. Biarlah niat bunuh diri itu menjadi rahasiaku seumur hidup. Antara aku dan Bram, sahabat baruku. Aku ingin sekali mengajak Bram minum meski hanya segelas kopi tubruk di warung

“Apa tidak mau turun bersamaku, Bram. Mungkin sekedar minum kopi bersamaku” tawarku, saat aku beranjak untuk pulang.

Bram tersenyum, dan mengangguk.

Aku ingin cepat-cepat pulang, dan minta maaf kepada semua orang yang aku cintai. Aku dan Bram kemudian bersama-sama turun, tapi ada yang aneh dengan Bram. Bram tidak lagi berkata-kata, hanya diam sepanjang perjalanan.

“ Kamu ada kendaraan?” tanyaku. Bram hanya menjawab “Jalan saja”. Dingin, dan aneh.

********

Aku keluar dari gedung itu bersama Bram, dengan segala harapan baru dan sahabat baru yang entah kapan berjumpa lagi. Tak jauh dari gedung tempat aku berupaya bunuh diri tadi, diantara gedung-gedung pencakar langit yang bersinar terang dimalam gelap dan di sudut gedung sebuah apartemen tepat diseberangku, aku melihat  banyak orang berkerumun, ada ambulance dan sirene polisi berderu-deru.

“Ada apa ya gerangan?” aku berpikir. Sejurus aku membaur kedalam kerumunan.

“Bram, ayo kita kesana” ajakku.

“Nggak, aku lebih baik disini saja” tolak Bram  halus, aku tidak melihat ada yang aneh dengan dirinya. Dengan agak kecewa, aku lantas tinggalkan Bram menuju kerumunan.

Kemudian aku melihat beberapa orang berpakaian polisi sedang memasang garis polisi, seorang polisi yang bersarungtangan juga menorehkan kapur ke sekeliling sesosok tubuh yang tergeletak kaku, aku tidak bisa melihat wajahnya karena dalam posisi menyamping dan telah ditutupi kertas Koran dengan bercak darah. Kulihat banyak darah bahkan serpihan-serpihan otak berceceran di jalan aspal itu, dan jalanan macet karena begitu banyak orang berdatangan untuk melihat kejadian itu.

Kulihat beberapa paramedis berbaju putih mengangkat mayat lelaki tadi yang hanya ditutupi selimut. Mereka seperti robot dengan seluruh badan ditutup pelindung, seolah si mayat menjadi pembawa penyakit saja. Diantara sirene polisi dan gemuruh para warga yang melihat-lihat. Aku kemudian bertanya kepada seorang polisi yang sedang sibuk mencatat di dekat garis polisi.

“Pak, apa yang terjadi?” tanyaku

“Ada mayat ditemukan di sudut gedung apartemen ini, Pak.” Jawabnya singkat

“Dan sudah berapa lama mayat itu?” cecarku

“Menurut catatan, korban sudah meninggal sekitar 2 jam yang lalu” kata Polisi tadi

Aku makin penasaran. “Meninggal karena apa Pak?” kembali aku bertanya.

“Diperkirakan korban melakukan aksi bunuh diri dengan terjun dari puncak gedung situ” sambil menunjuk kearah puncak gedung.

Aku ingin bertanya lagi, dan entah terlontar kalimat ini begitu saja :

“Pak, Boleh saya melihat mayatnya?” tanyaku

“Tidak boleh pak, karena menurut orang yang mengenal korban, dia pengidap HIV sehingga jangan sampai tersentuh oleh darahnya” larang Polisi tadi.

Ya Allah. Aku teringat apa yang diceritakan Bram. Tentang lelaki yang terkena HIV dan seterusnya dan seterusnya….ah! kenapa ini? Aku bingung.

Tiba-tiba aku nekad, “Pak, boleh saya lihat jenazahnya? Sekali saja.” Pintaku

Awalnya polisi tadi tidak mengijinkan, aku sempat diinterogasi.

“Kenapa bapak ingin sekali melihat jenazah itu?”

“Entah kenapa pak, saya ingin tahu…sekali ini saja. Tolong pak” sekali lagi aku meminta

Karena aku tetap bersikukuh, maka polisi paruh baya tadi berkata “Akan saya tanyakan dulu kepada tim medis”. Polisi itu berjalan menuju ambulance, dan setelah terlibat pembicaraan dengan beberapa tim medis disana. Dia datang, dan menghampiriku

“Silahkan Pak, jika anda benar-benar ingin melihatnya”

“Terima kasih pak, “ kataku sambil mengikuti langkah polisi tadi. Aku melompati area yang berlumur darah dan telah diberi garis putih itu, dan kemudian menuju ke mobil ambulance.

Jenazah itu telah terbungkus kantong mayat. Salah seorang tim medis kemudian membukakan sedikit. Jantungku berdebar-debar, dan dengan gemetar aku membuka lebih lebar lagi ritsleting kantong mayat tadi. Aku terhenyak.

“Bb….raam! Bram!’ aku terbata-bata. Aku menoleh ke arah Bram yang kutinggal tadi dekat situ, dia menghilang!

 Wajah bak Dewa Yunani itu terbujur kaku dihadapanku dengan kondisi persis seperti yang dia ceritakan. Siapa yang mengajak aku bicara di lantai 50 tadi? Siapa yang jalan bersamaku? Terbayang wajah Bram.

“Innalillahi wa Innailaihi Roji’un” desisku perlahan.

Aku limbung, semuanya gelap.

 

Bambang Priantono

2006

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Spiritual

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) Bram itu roh yang mencoba menyelamatkan 'aku' dari bunuh diri. huuu mesej yang jelas!
    bagus ceritanya

  • (Penulis)
    2) Terima kasih, padahal itu buatnya sudah lama lho

Cerpen-cerpen lain nukilan rumahangin

Read all stories by rumahangin