Carry You Home (part one)

 

Carry You Home

Prolog :
“I promise you,.. “

 

***

 ‘Trouble is her only friend and he’s back again.’

Tangis dan hujan menemani penantiannya. Awan kelabu menyelimutinya dan badai menggetarkan hatinya. Hati adalah benda yang paling rapuh yang pernah tercipta. Tapi atas nama cinta ku berani bertaruh, tidak akan ada yang dapat memecahkannya.

 

***

 

It’s been a year..

Selamat pagi mentari pagi! Tidak pernah kulihat senyummu secerah ini. Jam alarm ini berdering lagi. Sungguh memuakkan. ’Oh, sial!’ pikirku ketika menyadari jarum jam masih menunjuk tiga puluh derajat lebih awal dari yang kuharapkan. Tampaknya aku salah menyetel alarm yang berkayu ek ini lagi. Pukul tujuh tiga puluh.

Ah, pagi yang indah. Kalu aku seorang penulis novel yang berniat mendeskripsikan keadaanku sekarang, pasti aku akan menulis : wanita jelita berambut pirang dan bermata biru itu baru terjaga dari mimpinya, jarinya kaku—hampir beku karena dinginnya suhu, wajahnya yang kemerahan di pipi memantulkan cahaya emas mentari, seluruh permukaan kulitnya masih mengkerut—belum ada aliran darah dan suntikan adrenalin yang cukup deras untuk memulihkannya, matanya masih sipit dan berair, dan rambutnya tergerai di atas bantal bulu angsa yang empuk dan di bawah naungan selimut hangatnya.

Kepalaku masih terasa sangat pening, bukan inilah bangun pagi yang kuharapkan. Kututup mata sekali lagi, kucoba kembali ke tanah mimpi.

Tampaknya usahaku sia-sia. Yang ada di benakku sekarang hanya dia. Hari ini adalah hari itu. Dan keindahan hari itu tidak dapat dilukiskan di atas kanvas maupun di atas kertas. Karena hari itu.. adalah ujung penantianku.

Kubilas wajahku dari kantuk dan kubuka keran untuk mengambil segelas air. Kutenggak air itu ketika pintu kayu willow tua di depan bergetar.

Knock, knock

Pintu itu akhirnya berbunyi, setelah setahun ini..

 

***

‘Makes her body older than it really is.She says it’s high time she went away,No one’s got much to say in this town.Trouble is the only way is down.Down, down’

Harapan dan keputus-asaan menghiasi buku-buku jarinya. Rasa haus dan kelaparan menjuntai di batang hidungnya. Ia haus akan kasih dan lapar akan perhatian. Kulitnya memucat oleh rasa rindu dan organ tubuhnya terkulai di ujung jurang kehancuran didorong oleh amarah dan sesal. Tidak ada yang dapat dikatakan dunia ini untuknya. Tidak ada yang dapat dikatakannya untuk dunia ini. Hanya masalah dan penderitaan yang dapat menjembatani dan mengertikan mereka.

 

***

 It’s been a year.. and two months..

Selamat pagi masalah! Datanglah kembali ke hidupku dan janganlah berharap untuk mengambilku kali ini! Itu tak akan pernah terjadi dan camkanlah itu!

Sudah muak aku dengan dunia ini. Apalah arti ku hidup dan menghirup udara di tempat memuakkan ini. Yang mereka tahu hanyalah apa yang mereka sebut moral dan kebenaran menurut mereka. Tak adakah yang dapat mereka lakukan selain mencampuri urusan orang lain dan mencoba memberi nasehat-nasehat hampa?

Kenapa kau tak kunjung datang? Cepatlah kemari dan bawalah aku dari tempat ini!

Aku terus memaki dalam benakku saat aku memukul jam alarm berkayu ek ini. Pandanganku menurun melintasi langit-langit menuju wajah sang alarm hingga menyadari bahwa jam penunjuk itu menunjuk angka yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Ini sudah cukup lama sejak aku salah menyetel alarm ku lagi. Pukul tujuh tiga puluh.

Pening kembali menyerang kepalaku—pening yang selalu menyerang kepalaku beberapa bulan dan hari ini. Rambutku basah ketika aku keluar dari kamar mandi dengan handuk masih tergantung di pundakku. Aku mengambil dua helai roti gandum dari lemari makananku. Dua potong bacon dan seikat lettuce menyusul. Demikian pula sebotol mayo dan thousand island yang berair di luarnya.

Kelopak biru forget-me-not itu sudah tampak semakin indah, dibandingkan dengan perasaan menyesal bila mengingat biji-bijinya dulu hampir kulempar ke dalam closet.

Mataku tak berani berhenti memandangi panggung bunga itu, warna biru laut yang sangat indah menyanyikan keindahan dunia—jika saja hal ini masih tersisa—dengan keagungan sinar matahari sebagai lampu sorotnya. Akhirnya mataku teralihkan dari panggung itu. ‘Ouch!’ teriakku ketika merasakan sakit di ujung salah satu jariku. Pisau sialan yang sedang kugunakan memotong lettuce menggoresnya. Warna merah menghiasi kesucian putih roti ini.

Kubuka keran dan kubiarkan jariku dimandikan oleh air pagi itu.

Pintu willow tua di depan bergetar.

Knock, knock

Pintu itu akhirnya berbunyi, setelah dua bulan terakhir..

*to be continued*

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Cinta

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) ...yakin ini cerpen, bukan novel? ;)
  • 2) uish...complex..

    willow~~willow~~willow~~~Othello, Shakespeare..ehehe
  • 3) cerpen bersiri mungkin..=)
  • 4) Wew... Mending di post di bagian novel aja kali jo? Hehehehehehe.... ^^
  • 5) Jc, ngapain gak d smbung?

Cerpen-cerpen lain nukilan jc_upu

Read all stories by jc_upu
No stories.