Setelah Kematian Hang Jebat

  • 5
  • hujan
  • 16 years ago
  • 3,612
  • FREE

 

Oleh: Hujan


“Hang Jebat mati,” ujar Saman sambil terengah-engah menghampiri Malik. Lelaki itu berhenti di belakang Malik sambil membungkukkan badan mengatur nafas. Mendengar kabar dari Saman, Malik diam sejenak. Dihentikannya pekerjaannya. Untuk sesaat dia mengheningkan cipta. Kemudian melepas pandangannya ke lautan luas yang ada di hadapannya.
“Dia mati juga?” Tanya Malik dengan suara pelan. Saman mendekat, didekapnya Malik. Berdua mereka saling bertangisan.
“Tuah sudah membunuhnya, dengan sekali tikaman,” ujar Saman sesenggukan. Malik mengajak temannya itu duduk di atas dermaga kayu yang menjorok ke tengah laut..

“Bagaimana mungkin Jebat bisa tewas dalam sekali tikaman?” tanya Malik melanjutkan pembicaraan.
“Taming Sari,”
“Taming Sari?”
“Begitu kata Tuah, Jebat mati karena senjata makan tuan,” kata Saman menjelaskan.
“Aku tidak percaya Saman,” ujar Malik, “Tuah bicara apa?” lanjutnya sejurus kemudian.
“Dia tak banyak bicara, kulihat matanya masih merah menahan lelah. Kupikir mereka pasti bertempur demikian dahsyat,”
“Dan kau pikir Jebat akan begitu saja kalah?”
“Tentulah, Jebat terlalu angkuh Malik,”
“Laksamanamu itu lah yang terlalu angkuh,” balas Malik. Tangannya masih terus mengasah keris. Saman hening sejenak. Sekarang dia menyadari bahwa suatu hal yang berat untuk membawa temannya itu kembali ke jalan yang benar. Kembali ke pangkuan negara.

“Baiklah kalau begitu Malik, aku sadar tak ada kabar baik bagimu selain kekalahan Tuah. Tapi aku harus mengatakan, bahwa seperti ramalan banyak orang, Tuah akan keluar sebagai pemenang,” ujar Saman. dia bangkit dari duduknya. Sementara Malik terus mengasah kerisnya dengan batu kerikil hitam.
“Pergilah kau,” ujar Malik dengan suara yang parau, air matanya masih menetes.
“Kau lah yang pergi Malik,” balas Saman. Malik mendelik dan menatap tajam kepada Saman.
“Sudah tidak ada harapan bagi orang-orang seperti mu,” lanjut Saman.
Malik menghentikan kerjanya, disarungkannya kerisnya dan diselipkan ke pinggang. Disekanya bulir air mata yang masih terus menetes. “Aku tak mungkin pergi, ini tanahku.” ujarnya lagi.

Saman menggenggam tangan Malik. “Aku temanmu Malik. Sampai kapan pun,” ujar Saman.
Malik menghempaskan genggaman tangan Saman.
“Kau bukan temanku,”
“Kau temanku ketika bersama-sama berjuang merebut pulau ini dari tangan Peranggi,”

Sambil mengulum senyum Malik beranjak menjauhi Saman.”Aku tahu Jebat, aku tahu Tuah. Dan aku tahu siapa kau. Kita semua hanya alat yang dipakai raja untuk mengukuhkan kekuasaannya. Aku memilih keluar dari pasukan dan memilih jadi musuh sultan, kau memilih bertahan dalam angkatan laut di bawah Hang Tuah. Dan Jebat yang malang memilih untuk setia pada temannya Hang Tuah.”
“Begitulah, kita semua memang memilih. Dan sebaik-baiknya pilihan adalah tetap menjadi abdi negara,” potong Saman.
“Abdi? Mengabdi? Dapat apa kau dari mengabdi? Aku juga mengabdi, Jebat pun mengabdi, tapi sultan tak pernah tahu arti sebuah pengabdian,”
“Tutup mulumu Malik,” hardik Saman.

“Sekarang kau berani memerintah untuk menutup mulutku? Siapa kau? Tak ada yang bisa memerintahku. Aku orang merdeka, Saman,”
“Merdeka?” tanya Saman. Malik menatap tajam pada temannya itu. “Betul,” jawab Malik.
“Merdeka dari apa? Kau tidak merdeka Malik, kau masih terjajah oleh semangat pemberontakan yang didengungkan Jebat.”
“Sekarang kau mulai mengajarkan aku soal kemerdekaan ya?” tanya Malik. Saman berdehem.
“tak mungkin aku mau belajar tentang kemerdekaan dari seorang abdi sepertimu.” balas Malik.
“Jangan begitu Malik, inilah kenyataan yang harus kita hadapi,”
“Baik aku sudah siap menghadapi. Termasuk mati di tanganmu. Ayo, cabut kerismu, kita bertarung sampai mati,” ujar Malik sambil mencabut keris dari sarungnya.
“Sarungkan kembali kerismu Malik, aku ke sini bukan untuk itu. Aku ke sini sebagai temanmu. Kita sudahi saja perdebatan ini.”
“Kita akan selesaikan secepatnya Saman,”
“Bukan dengan cara itu Malik,”
Malik ragu menggenggam kerisnya.
“Aku temanmu, aku tak mungkin bertarung melawanmu,”
“Tapi kau adalah abdi sultan, sedangkan sultan itu musuh Jebat. Siapa pun yang menjadi musuh Jebat adalah musuhku. Termasuk Hang Tuah,”
“Jangan kau bicara seperti itu. Bila tahu begini aku tak akan datang kemari untuk mengabarkanmu tentang suatu kabar,”
“Kabarmu itu hanya menambah sakit hatiku pada negara,”
“Kalau begitu saranku kau pergi saja,”
“Hah? Pergi? Begitu saja? Setelah aku berkorban banyak untuk mengusir kafir-kafir Peranggi itu, lantas kau sarankan aku pergi? Hehehe, kau langkahi dulu mayatku Saman,” kata Malik sambil terus maju mendesak Saman.
“Kau harus ingat, bukan kau saja, yang mengusir Peranggi, tapi aku juga, Jebat juga, Tuah juga. Dan ada banyak orang yang berjuang dan mati,” ujar Saman mendekati Malik. Malik menghindar, menjauhi Saman.
“Aku datang sebagai seorang teman. Aku harap kau mau mengikuti saranku. Soalnya bila sesuatu terjadi padamu, aku tak bisa membantumu, Apalagi, bila nanti Tuah sendiri yang menangkapmu.” ujar Saman sejurus.
“Satu yang perlu kau pahami Saman, kecintaanku pada negeri ini tak perlu lagi diragukan siapapun. Bahkan Tuah, laksamanamu itu. Aku punya alasan sendiri untuk bertindak. Aku bukan pemberontak, mana mungkin aku merusak hasil perjuanganku sendiri. Sultanmulah yang harus bertanggung jawab. Dan Si Tuah yang malang dan keras hati itu hanya akan menangisi kebodohannya sepanjang masa.. ” kata Malik sambil menyarungkan kembali kerisnya.

“Pergilah ke pulau seberang, jangan sampai kau tertangkap bala tentara Laksamana Hang Tuah.” bujuk Saman.
“Bagaimana dengan keluargaku? Anak dan istriku?”
“Mereka akan menyusulmu malam ini juga. Aku bersumpah demi persahabatan kita,” ujar Saman menghampiri Malik. “Sekarang pergilah kau, aku akan mengaturnya,” sambung Saman sambil melepas tambatan perahu yang tersandar di dermaga tak jauh dari mereka berdiri.
“Kami akan menuntut balas atas kematian Hang Jebat.” kata Malik sambil mendekati Saman yang sudah berdiri di tepi dermaga.
“Percuma, Malik. Kalian akan gagal. Kau tahu sendiri bukan, kekuatan armada Hang Tuah?” tanya Saman.
“Kau lupa Saman, kalau kami adalah bekas tentara Hang Tuah?” sambut Malik sambil melompat ke atas perahu kecil.

“Kalau memang begitu maumu, kita bertemu di medan laga,” ujar Saman. Malik mengayuh perahu kecilnya, dengan senyum ditahan dia menyambut tantangan temannya, “Kita lihat, siapa pemenang sesungguhnya,” ujar Malik bersemangat mengayuh perahunya ke tengah samudera.

Hari semakin gelap. Kematian Hang Jebat menimbulkan luka di hati Malik. Moral dan semangat tempurnya rusak setiap kali mengingat kekalahan Hang Jebat. Entah bagaimana nanti dia harus menyampaikan kabar duka ini kepada teman-temannya yang lain di persembunyian. Bagi dia kabar kematian Jebat tak lebih seperti kabar angin yang sengaja dihembuskan untuk melemahkan semangat pengikut Hang Jebat. Namun bila dia mengingat serta merta kesaktian Hang Tuah, bukan tak mungkin hulubalang yang satu itu mampu mengalahkan Jebat yang sakti.

Malik memang tak pernah tahu apa alasan sebenarnya yang menjadi pemicu sengketa Tuah dan Jebat. Yang diingatnya, bahwa suatu kali Jebat muncul dan mengumpulkan tentara yang setia pada Hang Tuah. Jebat-lah yang memimpin pembalasan dendam atas ditangkapnya Hang Tuah. Namun sekarang, bagaimana mungkin dua sahabat sejati itu bisa saling menghabisi? Apa memang begitukah kodrat persahabatan? Sebuah hubungan dimana pihak yang satu akan menghabisi pihak lainnya pada suatu masa, dan sebuah tempat.

Malik tak paham. Bagi dia sekarang Hang Tuah adalah musuhnya. Begitu pula dengan semua tentara yang setia pada Hang Tuah. Malik masih tak habis pikir.

Dikegelapan malam perahu kecil Malik diombang-ambing ombak. Kian kesana, kian kemari. tak jelas haluan menuju mana. Dibawah rayuan suara angin laut yang menderu, Malik mengeluarkan kerisnya dari selipan selendang di pinggangnya. Dengan begitu hati-hati, dirabanya sisi keris hitam dengan gagang yang terbuat dari gading. Angin terus menusuk tengkuknya, Malik semakin tajam menatap kerisnya.

Pikirannya bimbang. Dia tak tahu harus berbuat apa. Selintas dia berniat untuk meneruskan perjalanannya menuju sebuah pulau tempat kawanan yang setia pada Jebat berada. Namun pikiran itu dibuangnya. Perlahan dia mulai merubah arah haluan perahunya. Dikayuhnya pelan-pelan perahu mungil itu ke sebuah daratan. Kali ini dia sudah bulat. Kematian Jebat memang harus dibalaskan, meskipun nantinya dia akan berhadapan dengan seorang legenda kelautan. Malik semakin berani mengayuh perahunya, dalam hatinya dia meyakini, keberhasilan hanya milik orang-orang yang berani mengambil keputusan. Ujung daratan yang ditujunya sudah terlihat. Disandarkannya perahu di bawah sebatang pohon kelapa di tepi pantai. Kemudian ditambatnya. Sepasang kakinya menapaki pasir pantai yang putih. Tengah malam, Malik mencabut kerisnya.

Di beranda rumahnya, Saman masih mengangin-anginkan tubuhnya yang basah oleh keringat. Nyaris saja dia tak bisa mengirimkan istri dan anak Malik pergi meninggalkan Melaka. Namun setelah dia berhasil meyakinkan syahbandar, bahwa istri dan anak Malik adalah kerabatnya. Saman menarik nafasnya. Tiba-tiba saja kematian Jebat jadi terasa begitu akrab. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa besok hari, seluruh tentara pemberontak akan diserang dan dipadamkan. Hang Tuah sudah berjanji pada sultan bahwa dia sendiri yang akan memimpin serangan. Saman sedih, ditundukkanya kepalanya. Saman teringat Malik, sahabatnya. Ketika muda, mereka telah melewati banyak hal. Puluhan pertempuran telah dilewati bersama. Boleh jadi besok Saman dan Malik akan bertemu kembali, namun kali ini akan saling berhadapan, saling menghabisi, seperti Hang Tuah dan Hang Jebat.

Hari makin larut. Dengan letih, Saman menyeret kakinya pergi masuk ke dalam rumah. Dibukanya pintu. Dia hanya berpikir, semoga esok hari bukanlah harinya yang terakhir. dan dia berharap, Semoga besok hari Malik sahabatnya tidak bertempur, apalagi berhadap-hadapan dengannya. Tak berapa lama, wajah Saman sudah menghilang di balik pintu.

Malik merayap, kerisnya sudah terhunus. Dendamnya semakin bertambah. Terlebih setelah mengetahui rumahnya terbakar menjadi abu. Diam-diam lelaki yang tak lagi muda itu masuk menerobos halaman sebuah rumah. Dengan hati-hati dipanjatnya anak tangga yang terbuat dari kayu di depan rumah itu. Pintu berderit, bergeser. Pemilik rumah tengah pulas agaknya.
Dibantu pendaran lampu teplok di dinding sebuah kamar, Malik dapat melihat dengan jelas mangsanya tengah tertidur pasrah. Diangkatnya keris bergagang gading tinggi-tinggi. Si sasaran tetap lelap tertidur.

Di atas dipannya, Saman tertidur pulas. Lelah seharian terbayar sudah. Besok dia harus menumpas pemberontak negara. Di bawah kibaran bendera Hang Tuah, dia akan mengejar dan menghukum pengikut Jebat. Saman tersenyum setiap dia mengingat keberhasilanya. Sambil tiduran dia terus mengingat-ingat kejadian yang pernah dilewatinya, bersama Tuah, berama Jebat dan bersama sahabatnya Malik. Saman puas dengan kerjanya, meskipun tanpa diketahuinya maut tengah mengintipnya dekat sekali.


Palmerah: 19 Desember 2007

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Klasik

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) pertarungan antara Hang tuah dan Hang Jebat memang kontroversi, tapi dalam cerita ini hal itu di ungkapkan secara sederhana melalui kacamata dua tokohnya tanpa menuduh siapa benar, siapa salah.
  • 2) cubaan yang bagus sekali, meski lenggoknya seperti Bahasa Melayu sudah tetapi masih ada beberapa ejaan ditulis dalam Bahasa Indonesia.

    pengolahan cerita di sini, menarik menurut ku. apabila sesuatu lagenda itu dituliskan kembali, pastilah ia dari interpretasi penulis itu sendiri. yang melihat dari sudut pandang yang lain.

    Good job bro!
  • 3) wah. bagus sekali karyanya. saman dan malik memang terdapat dalam sejarah juga eh? (buta sejarah)
    subcerita dari sisi sebuah legenda. saya suka!
  • 4) klasik..memang klasik..anda tahu sejarah melayu dan diindonesiakan bahasanya..bagus..dan seperti kak zu bilang, interpretasi masing2 itu jelas. =)

  • (Penulis)
    5) hingga sekarang, malik dan saman masih hidup diantara kita semua!

Cerpen-cerpen lain nukilan hujan

Read all stories by hujan