Di Balik Pintu
Sunyi yang meresap di balik dinding putih bungalow tempatku menginap selama musim panas bersama keluargaku, membuat dadaku sesak. Tidak ada suara Mom dan Dad yang terlibat pembicaraan penuh tawa, tidak ada ocehan adikku yang riang atau bahkan suara televisi yang berisik. Hanya ada lagu yang berasal dari pemutar piringan hitam kuno, riang yang memuakkan. Semuanya gelap, panas dan nyaris membuatku berteriak
Tapi aku tidak boleh berteriak. Siapa tahu mereka masih berada di sana, menungguku keluar dari tempat persembunyianku yang aman di bawah kolong tempat tidurku. Memikirkan hal itu aku menangis. Ngeri dan takut, keduanya bercamput menjadi satu dalam benakku. Aku kalut, mengasihani diriku sendiri dan keluargaku.... tubuh mati keluargaku.
Kalau saja aku bersikeras pada pendirianku untuk tetap tinggal di rumah selama liburan musim panas mungkin aku masih bisa mendengar suara tawa Mom, gelak tawa Annie atau bahkan candaan bodoh Dad. Tapi aku terlalu mudah luluh dengan rengekan Annie. Dia memaksaku untuk ikut bermalam di bungalow ini.
Kami tiba dua malam yang lalu dengan mobil van milik Dad, tertawa-tawa tanpa henti menikmati perjalanan menuju bungalow musim panas di pinggiran kota. Aku bertanya-tanya sendiri mengapa letaknya begitu jauh dari bangunan sekitar, kenapa berada tepat di tengah-tengah hutan berpohon besar yang mengancam. Tapi Dad menertawakan pertanyaanku.
Acara barbeque, makan malam yang menyenangkan, memancing ikan di sungai terdekat dan bermain ayunan di halaman bungalow, semuanya terasa indah. Terlalu indah untuk liburan musim panasku. Lalu malam kemarin Annie menghilang. Mom dan Dad mencari-cari seluruh tempat yang mungkin didatangi oleh adikku. Tapi mereka tidak pernah menemukannya.
Aku mulai berpikiran aneh. Kemana adikku? Adakah hal buruk yang menimpanya? Diculik mungkin? Tapi aku diam, takut membuat kedua orangtuaku semakin cemas. Aku tahu sekarang, harusnya aku memberitahu mereka. Setidaknya mereka segera melaporkan hal itu pada polisi. Dan orang-orang itu tidak akan datang pada kami.
Orang-orang itu...
Perasaan ngeri merayapi tubuhku, meninggalkan rasa perih di luka-luka sekujur tubuhku. Beberapa saat sebelum ini, salah seorang dari mereka datang, menggedor-gedor pintu bungalow kami. Keras dan kasar, seperti ingin mendobrak pintu bungalow kami. Kami bertiga, Mom, Dad dan aku yang tengah berkumpul di meja makan bersedih karena kehilangan Annie menatap pintu bersamaan. Cukup lama, gedoran itu masih terdengar sehingga Dad memutuskan untuk menghampiri pintu.
“Siapa itu?” tanya Dad tanpa membuka pintu.
Dia masih menggedor pintu bungalow kami, tanpa jawaban. Dad kemudian membuka pintu, dan tampaklah seorang gadis berdiri di ambang pintu. Wajahnya tidak begitu terlihat akibat cahaya lampu depan pintu yang padam tapi rambutnya panjang dan berwarna pirang. Dad mengernyit melihat lampu depan pintu yang padam.
“Apa ini rumah Theresa?” ujarnya dengan nada seperti mengulur-ngulur. Dingin dan tanpa emosi, suaranya membuat bulu romaku berdiri.
“Disini tidak ada Theresa. Kau mungkin salah rumah,” kata Dad.
“Siapa itu sayang?” tanya Mom, memelukku dengan was-was.
“Seseorang yang mencari Theresa,” jawab Dad berbalik menatap kami, detik berikutnya ketika dia kembali menghadap perempuan berambut pirang tadi, perempuan itu sudah lenyap.
Dad terkejut, menggelengkan kepalanya. Mungkin dia berpikir perempuan itu telah pergi. Dad menutup pintu di belakangnya setelah sebelumnya membenarkan letak lampu depan pintu hingga menyala dan menoleh ke sekitar untuk memastikan tidak ada orang lain.
Mataku nyaris membelalak lebar, napasku tercekat dan nyaris terjatuh ke belakang ketika aku berjalan mundur ke belakang.
“Ada apa, Sayang?” tanya Dad.
Aku menggelengkan kepalaku, “T-Tidak ada...” kataku gemetar.
“Kau yakin?” Mom bertanya padaku, memegang dahiku. “Apa kau sakit?”
Lagi-lagi, aku menggelengkan kepala. Aku menghela napas perlahan, mencoba menenangkan diri. Mungkin itu Cuma bayanganku semata, tapi bayangan itu jelas menganggetkanku. Perempuan yang mencari Theresa itu tadi berjalan sangat cepat sampai kulihat tadi dia berada di bawah siraman cahaya lampu jalanan yang kuning suram. Dia memakai topeng putih, mengerikan, dan dia menatapku.
Bagaimana dia bisa berada di tempat itu dalam waktu secepat itu? Atau mungkinkah yang kulihat itu orang lain?
Terdengar bunyi gedoran pintu lagi, membuatku, mom dan Dad terlonjak kaget. Kali ini jauh lebih keras dari yang pertama. Dad menyeberangi ruangan cepat-cepat, mengintip dari celah pintu dan mengerutkan keningnya menatap pegangan pintu.
“Siapa?”
“Aneh,” gumam Dad berbalik menatapku dan Mom lagi. “Tidak ada orang.”
Sunyi yang menegangkan menyusup diantara kami bertiga. Kemudian terdengar bunyi gedoran pintu lagi. Jauh lebih keras dibanding dua yang sebelumnya.
“Siapa kau?” bentak Dad, berteriak mengatasi bunyi gedoran pintu yang kasar. “Kalau kau yang tadi mencari Theresa, kau sudah mencarinya ke tempat ini dan dia tidak pernah berada disini!”
Tidak ada jawaban.
“J-James,” panggil Mom lirih, memelukku semakin erat.
“Brengsek!” umpat Dad berusaha mengunci pintu. “Telpon polisi, Frida!”
Mom mengangguk gugup. Wajahnya kalut dan cemas, dipenuhi perasaan takut. Pertama-tama dia mengambil telepon, memencet nomornya dengan jemari yang bergetar. Kemudian wajahnya pucat ketika tahu telepon itu mati. Rupanya ada yang memotong kabel telepon bungalow kami.
Jantungku mencelos, melihat kabel telepon kami dengan ngeri. Tapi siapa yang memotong kabel penghubungnya? Kami tidak pernah meninggalkan bungalow dan tidak pernah ada orang lain yang berkunjung selama kami berada disini. Tidak pernah ada orang lain yang masuk ke tempat ini. Tidak pernah kan?
Mom membongkar tasnya, mencari-cari ponsel. Rona merah di wajahnya menghilang secepat tangannya mengorek tas, dan akhirnya pucat sama sekali ketika menyadari ponsel itu telah hilang. Pucat pasi, dia mengobrak-abrik rak buku kemudian menyapu bersih meja makan. Mom semakin kalut dan diliputi kengerian yang begitu besar.
"T-Tidak ada telepon, James," kata Mom nyaris merosot lemas. "Seseorang memutuskan kabelnya.”
Aku bisa melihat kata-kata Mom menghujam Dad sedemikian rupa. Hening yang menyusul ketika suara gedoran pintu kasar itu lenyap terlalu menyesakkan dada. Dad menatap Mom, berusaha tampak tenang walaupun aku bisa melihat kilat-kilat keresahan dalam matanya.
“Mustahil,” bisik Dad, berlari menyebrangi ruangan menuju tempat kami berdiri. “Dimana ponselmu?”
“Hilang. Padahal aku tidak pernah mengeluarkannya dari tas,” Mom terisak, suaranya gemetar ketakutan.
“Brengsek!” umpat Dad menyisir rambutnya dengan kasar, frustasi.
Mom menyandarkan kepalanya di bahuku, menangis. Aku membelai kepala Mom, berusaha membuatnya lebih tenang. Tapi sentuhan tanganku terasa begitu dingin di pipi Mom yang panas. Aku sadar, ketakutan serupa merasuki tubuhku.
Aku menatap Dad, mencari ketenangan dalam tatap matanya. Tapi mata coklatnya itu hampa, balas menatapku sendu. Aku bergerak perlahan menuju jendela lebar di sisi ruang makan. Sesaat tadi aku seperti melihat sosok yang berkelebatan. Penasaran, aku menyibakkan tirai jendela.
Ketakutan yang sangat mengiris-iris ulu hatiku. Kakiku lemas, tidak lagi bisa menopang berat tubuhku. Aku merosot jatuh, menangis, dan menjerit sedemikian rupa. Kedua orangtuaku terlonjak kaget kemudian berlarian mendekatiku. Mom memelukku mencoba menenangkanku, tapi aku tidak menghiraukannya. Mataku tetap terpaku pada benda yang bergoyang pelan di luar sana.
Mom dan Dad mengikuti arah tatapanku, keduanya terbelalak lebar lalu menangis bersamaku. Mom bahkan ikut berteriak bersamaku. Mereka menangisi benda yang bergoyang pelan di luar sana. Selongsong tak bernyawa dengan cabikan dan luka menganga di sekujur tubuhnya digantung sedemikian rupa di dekat jendela.... dialah adikku, Annie.
Perutnya bolong dan meneteskan darah. Ususnya terburai panjang ke lantai. Beberapa bagian tubuhnya seperti kaki kanan dan tangan kiri tampak lebih panjang dari pasangannya. Ada luka memar di tubuhnya juga luka tusukan dan sayatan mengerikan berlumuran darah. Tapi bagian yang paling mengerikan adalah kepalanya. Matanya membelalak lebar membentuk ekspresi ketakutan, bagian kanan kepalanya remuk dan di tengah-tengahnya sebuah kapak masih menancap mantap.
“Annie... Annie....” isak Mom, menutupi pemandangan itu dari mataku dengan rambut panjangnya yang kemerahan.
Dad kembali menutup tirai jendela. Wajahnya berkilau karena air mata begitu dia menatapku dan Mom yang masih menangis karena terguncang. “Frida,” katanya lirih. “Kuatkan dirimu.”
“Kuatkan diriku?!” teriak Mom kepada Dad meledak marah, air matanya menggenang. “Bagaimana bisa aku menguatkan diriku sementara aku baru saja melihat putri bungsuku digantung dengan keadaan mengerikan begitu? Bagaimana kau bisa tenang setelah kau melihat Annie seperti itu?”
Dad membuang muka, menyesal telah mengatakan hal itu. Baginya hal itu sama menyakitkannya seperti yang Mom rasakan. Mungkin lebih. Tapi dia laki-laki, dia harus kuat dan harus tetap bisa berpikiran rasional. Istri dan anaknya sekarang menggantungkan keselamatan padanya.
“O-orang itu yang membunuh Annie kecil kita, James,” bisik Mom kemudian, sungai air mata yang sudah mengering di pipinya kembali basah. “Dan dia akan membunuh kita semua.”
Baik aku maupun Dad menatap Mom dengan perasaan takut dan ngeri yang sama besarnya. Kami paham benar maksud perkataan Mom dan menyadari memang itulah yang tengah terjadi sekarang ini. Aku, mom, dan Dad terkurung bagai tikus dengan Si Pembunuh mengintai kami di luar, menunggu kesempatan yang baik untuk memisahkan kepala dari badan kami.
Bunyi gedoran pintu itu terdengar kembali, membuat kami bertiga terlonjak kaget. Tapi bedanya sekarang ketakutan kami semakin bertambah, jauh lebih besar lagi dibandingkan sebelum kami mendapati tubuh tak bernyawa Annie tergantung di beranda. Dad mengambil pemukul baseball logam yang tergeletak di samping perapian, mengangkatnya dalam posisi siap untuk memukul.
Kemudian bunyi itu hilang. Samar-samar dari balik pintu depan, terdengar bunyi gemeretak yang mengagetkan. Kami bertanya-tanya apa yang tengah dilakukannya. Tapi tidak ada seorangpun yang menyuarakan pertanyaan itu. Tegang, dan ketakutan. Atmosfer di ruangan itu semakin berat.
KRAK!!
Sebuah kapak merobek daun pintu bungalow kami. Dad berlari, melemparkan pemukul baseball logam ke lantai dan menurunkan palang yang digunakan untuk menghalangi pintu.
KRAK!!
Kapak semakin dalam merobek daun pintu bungalow, menimbulkan bunyi derak yang mengerikan. Serpih-serpih kayu berhamburan di lantai. Mom berteriak panik, memelukku begitu kencang. Nyaris mencekikku.
KRAK!!
“Bantu aku menghalangi pintu dengan piano!” teriak Dad berusaha menahan pintu dengan berat tubuhnya. “Cepat Frida!”
Cabikan dan kertakan mengerikan itu masih terdengar bahkan ketika Mom dan Dad telah berhasil mendorong piano menghalangi pintu. Jemariku semakin mendingin karena ketakutan. Aku merapatkan tubuhku ke dinding.
Kelebatan bayangan di sisi jendela mengangetkanku. Aku bisa melihat mayat Annie bergoyang kencang lalu sesosok bayanga. Tinggi menjulang, berdiri disamping mayat Annie. Aku menjerit, berlari menuju Mom dan Dad berada, tersandung pemukul baseball dan berdarah.
“Sini sayang,” Mom menarikku dalam pelukannya.
“Menyingkir dari sini! Ke lantai dua!” teriak Dad panik, sementara bunyi derum rendah mesin terdengar mengancam dari balik pintu yang rusak.
Benar saja. Sebelum akhirnya aku dan Mom berhasil berdiri dan mengikuti Dad berlari menaiki tangga menuju lantai dua, mobil van milik Dad menabrak paksa daun pintu bungalow, meratakan piano dengan bunyi BRAK!! yang keras. Menyusul setelahnya, bunyi kaca jendela pecah dan letusan senjata api.
Dad merintih pelan, memegangi dadanya. Tembakan itu berhasil mengenai tungkai Dad. Lalu terdengar tembakan yang kedua dan ketiga serta rintihan Dad lagi. Kali ini perutnya dan dadanya terkena tembakan itu. Kemeja linennya bersimbah darah, menatapku dengan mulut berlumuran darah dan sesaat setelahnya dia merosot jatuh ke bawah.
Aku berteriak memanggil Dad, dan ketiga orang di ruangan itu menatapku. Dua diantaranya perempuan dan satu orang lelaki berjas hitam, masing-masing memakai topeng dan penutup kepala. Seorang perempuan yang bertopeng putih gemuk menyeret tubuh menyedihkan Annie, menarik kapaknya lalu bergerak bersamaan dengan kedua rekannya. Mereka ingin membunuhku.
“Cepatlah!” teriaknya panik, menarik tanganku.
Dalam kepanikan, takut, dan ngeri yang bercampur menjadi satu air mataku tumpah. Aku memanggil-manggil Dad dan Annie. Mereka mati bersimbah darah, dan ketiga orang itulah yang membunuh keduanya.
Mom memasukkanku ke dalam lemari dengan celah-celah sempit. Dia mengambil besi yang berada tak jauh dariku dan berkata, “Diam disini. Tutupi tubuhmu dengan mantel dan jangan bersuara.”
Aku mengangguk, terisak. “Apa kita akan mati, Mom?” tanyaku pelan.
Mom menatap wajahku lama. “Tidak,” sahutnya pelan, ragu akan ucapannya sendiri.
“Tapi Dad dan Annie mati,” isakku semakin keras. “Mereka akan bunuh kita semua.”
“Tidak. Tenanglah,” sergah Mom menciumi keningku. “Kita akan selamat.”
Mom menimbun tubuhku dengan mantel berbau apak. Kemudian menutup pintu lemari bercelah sempit itu. Di dalamnya aku menunggu, mematuhi perintah Mom. Tak bersuara seolah aku ini memang tak lebih dari onggokan mantel apak.
Waktu berjalan sangat pelan. Mencekikku dengan pikiran-pikiran buruk mengenai keluargaku, mengenai Mom yang berada diluar sana. Apa mereka sudah menangkap Mom? Apa mereka sudah membunuhnya sama seperti mereka membunuh Dad dan Annie?
Tidak pernah ada jawaban yang pasti.
Mom. Dialah yang membuat perasaanku berkecamuk. Dia yang paling ku khawatirkan sekarang ini. Aku harus mencarinya. Harusnya ini mudah, aku toh dikenal sebagai pelari andal di kelasku. Bertemu dengan mereka pun aku masih bisa menghindar dengan berlari, bahkan mungkin melebihi kecepatan peluru senapan mereka!
Kata-kata itu terus kuulang dalam hati, berusaha menumbuhkan akar keberanian dalam rongga hatiku. Aku keluar dari lemari tanpa bersuara, menanggalkan alas kakiku dan sedikit meringis ketika lututku yang berdarah membentur ujung lemari.
Aku berjalan perlahan, berhati-hati terhadap sekelilingku, menyusuri lorong gelap. Samar-samar terdengar bunyi sepatu boots yang berderit dan musik riang yang berasal dari pemutar piringan hitam kuno. Pasti mereka yang menyalakannya.
Rasa panik itu menghantam perutku bersamaan dengan dentum-dentum langkah sepatu boots yang mendekat. Aku harus bersembunyi. Tapi dimana? Aku mencari tempat persembunyian, menatap nyalang menembus kegelapan ruangan itu sampai akhirnya aku sadar. Ruangan itu adalah kamar tidurku. Cepat-cepat aku merangkak ke bawah kolong tempat tidur, bersembunyi.
Kaki-kaki bersepatu boot hitam itu bergerak kesana kemari, memeriksa. Siapapun itu, dia seorang perempuan dan dia terkekeh pelan, suaranya terdengar mengulur-ulur dan dingin seperti bongkahan es.
“Keluar-keluar, dimanapun kau anak manis...” dendangnya di sela-sela dentum langkah boots hitam perempuan itu.
Aku bersidekap ngeri, menutupi rahangku rapat-rapat. Takut bersuara dan menarik perhatiannya.
“Kita akan bermain,” dendang perempuan itu lagi, melewati kamar tempatku bersembunyi. Aku bisa mendengar derak napasnya, juga kesenangan setan-nya di sela-sela napas itu. “Oh ya... permainan yang menyenangkan. Sangat menyenangkan.”
Aku memanjatkan doa kepada Tuhan dalam diam. Salam Maria, Bapa Kami, apapun... apapun agar dia dan pembunuh-pembunuh itu menghilang dari bungalow keluargaku, agar Mom bisa kutemukan.... agar Dad dan Annie bisa hidup kembali.
Suara kikik geli perempuan itu semakin samar dan menghilang, bukti bahwa dia menjauh meninggalkan tempatku bersembunyi, berdendang dengan keriangan memuakkan yang sama seperti musik piringan hitam itu.
Dan disinilah aku. Bersidekap ngeri membayangkan kembali rekaman kejadian yang menimpa keluargaku. Aku menangisi kehidupanku dan kematian keluargaku. Apa salah kami? Aku bertanya-tanya sendiri. Mengapa Tuhan tidak mengirimkan pasukannya untuk menyelamatkan kami. Bahkan satu malaikatpun, untuk mengusir setan-setan itu dan mengembalikan tawa riang Dad serta Annie.
Aku tidak boleh bersuara. Aku tahu. Tapi denyut menyakitkan di dadaku terlalu dalam. Aku mencicit kecil seperti tikus.
Derap langkah kaki menyentak kesadaranku, membuat seluruh tubuhku lumpuh sekejap. Mataku membelalak lebar dan rasa ngeri yang begitu besar merenggut suara teriakan dari tenggorokanku. Sepasang kaki memakai boots hitam itu berhenti di kamar tempatku bersembunyi. Dia masuk ke dalam kamarku, menunduk rendah-rendah.
Perempuan bertopeng itu melihatku.
“Ketemu kau...”
Cerpen-cerpen Berkaitan
Semua cerpen-cerpen Mistericerpen-cerpen lain
Perbualan
Perbualan
-
1) mantap lah anak kemudianers...
bagus ceritanya. speechles deh!- _theRain_
- 15 years ago
-
2) Hehe btw, ini cerita sebenarnya masuk ke golongan fanfic karena cerita ini dibuat berdasarkan alur cerita film "THE STRANGER"
Makasih sudah baca ^^- Lumia
- 15 years ago
-
3) inspirasi banget yah? the stranger... hmmm. oh keren lah hiks
- _theRain_
- 15 years ago