Asgard (Draft )

  • 2
  • Lumia
  • 15 years ago
  • 4,583
  • FREE

 

Belum ada tanda-tanda kepulangan mereka. Tiga minggu yang dingin di Devlen dan harapan para wanita itu; istri, anak maupun ibu, akan tetap kosong, sama seperti pertama kali wanita-wanita kelas rendah itu datang seminggu sebelumnya. Bisa dibilang, aku sedikit merasa kasihan pada mereka.

Sedikit dan tidak akan kuakui di hadapan kawan-kawan prajuritku yang lain. Bisa kubayangkan olok-olok apa yang akan mereka katakan padaku jika aku mengucapkan kata ‘kasihan’. Mungkin Thover Si Penjaga dari pos kedua akan menertawakanku. Mungkin Gellain Si Pengamat menara Benteng Devlen akan berkata sia-sia saja merasa kasihan. Lalu Hegar, pengurus gerobak para pesakitan, berkata, “Gila benar, anak muda! Buat apa kau mengurusi wanita-wanita itu sementara keadaanmu sendiri sebegini menyedihkannya?”

Dan aku hanya akan meringis, berjalan ke pos jagaku di daerah tuas penggerak pintu benteng berada dan termenung memandangi beberapa wanita berbaju penuh tambalan kotor menatap penuh harap pintu Devlen. Benar. Aku memang menyedihkan. Untuk apa Si Menyedihkan ini—sebagaimana Hegar menyebutku—meluangkan waktu mengasihani orang lain?

Sebenarnya dia tak perlu mengatakannya padaku secara terang-terangan begitu. Tunanganku di desa sudah mengatakannya juga. Katanya terlalu banyak yang menyedihkan dariku selain memiliki tampang penjahat, berjenggot liar dan berhati lembek meskipun bentuk tubuhku padat, keras juga berotot. Bahkan Ellen—tunanganku—mengaku belakangan ini dia semakin tidak yakin untuk melanjutkan pertunangan kami.

Ini semua berkaitan dengan kepingan emas dan gandum yang kuperoleh dari pekerjaanku sebagai prajurit rendahan Asgar. Sekalipun aku sudah bekerja cukup lama di sini, tujuh ikat gandum seminggu dan dua puluh keping sill bukan prospek terbaik yang bisa diharapkan oleh Ellen dari calon suaminya. Terlalu pas-pasan, dalihnya. Hal itu jelas menghina harga diriku.

Maksudku, apa yang bisa kau dapatkan dari sebuah negara yang tengah berperang? Hidup layak? Kelimpahan makanan? Tolol. Kalau memang itu yang ingin kau tuntut, katakanlah saja itu semua pada Paduka Raja idiot yang melibatkan seluruh orang dalam perang ini hanya karena anaknya dengan bodoh membawa pulang istri penguasa Naridia. Percintaan konyol, sok mau berkuasa diatas penderitaan kami para rakyat rendahan, sikap flamboyan dan angkuh yang membuat kami muntah diatas pakaian kami sendiri.

Pada akhirnya kami yang terkena dampaknya. Aku yang terjebak di kota suram, mati dan nyaris kering akan makanan juga minuman. Mereka yang dikurung dan dilatih di halaman utama luas istana untuk menjadi pembunuh, mengacung-acungkan pedang hampa ke udara. Para wanita yang memandang penuh harap langit, padang rumput, pintu kayu.... benda apapun yang bisa mereka tatap demi tetap mempertahankan keyakinan mereka akan nyawa keluarga mereka. Kamilah korbannya. Dan ironisnya, bahkan dalam keadaan terburuk kami, para komandan perang selalu mengirimkan sejumlah pasukan—besar atau kecil—ke luar daerah perbatasan untuk melukai diri sendiri.

Tapi siapakah aku, mengeluh dengan segalanya ini?

Aku toh hanya seorang prajurit rendahan Asgar yang miskin, tak berotak dan ditinggal oleh tunangannya. Tinggal tunggu waktuku untuk menghilang dari muka bumi ini seperti kepulan asap. Aku tidak akan menjalankan sebuah takdir pahlawan seperti teman-teman seperjuanganku yang mati di tanah saat perang atau bahkan sempat menghunus pedang melindungi sesuatu yang berarti bagiku. Semuanya hanya akan berjalan seperti itu. Tanpa perubahan.

“Mereka kembali!” teriak Thover dari menara penjaga, membuat beberapa orang di bawah melongo, termasuk aku. Dia berlari dari puncak menara jaga seperti orang kesetanan. “Mereka kembali!! Pasukan telah kembali! Buka gerbangnya!”

Aku tersentak dari lamunanku dengan cara yang menyakitkan—seorang perempuan tua memukul tulang keringku untuk menyadarkanku—dan bergegas menarik tuas di hadapanku, sekuat tenaga.

Pintu gerbang perlahan membuka lebar diiringi bunyi derit yang memekakkan telinga sementara itu di sekitarku, banyak wanita berhamburan, berdesak-desakan mengambil tempat strategis dimana mereka bisa melihat rombongan pasukan tanpa halangan. Ada yang menarik rambut perempuan lain, menginjak dan menendang beberapa orang yang menghalangi mereka.

Tentu saja tidak ada yang memperdulikanku atau sekadar menawarkan bantuan padaku untuk ikut mendorong tuas tua dan berat ini. Semua perhatian terpaku pada apa yang terlihat dibalik pintu gerbang Devlen itu.

Hamparan bukit di horizon, pucuk-pucuk hutan hijau menulang tinggi di barat dan rombongan pasukan, berjalan di jalan setapak dengan wajah kelelahan dan kotor karena debu dan darah. Tangan-tangan mereka mengangkat panji-panji perang lambang Asgar dengan seluruh kekuatan mereka yang tersisa. Banyak diantara mereka yang memiliki luka. Di kaki, tangan, pipi bahkan sepanjang penglihatanku, beberapa meter ke belakang setelah para pemanah, gerobak mayat terlihat beriringan. Mengenaskan.

Ketika rombongan itu masuk ke dalam benteng, tangis haru-biru pecah nyaris berbarengan. Mereka, wanita-wanita itu, meneriakkan nama-nama para prajurit. Beberapa ada yang berteriak, menangis dan roboh ke tanah saat mendapati sanak saudaranya turun dari gerobak mayat. Suasana kacau biasa seperti waktu-waktu yang lalu.

“Sini, biar aku membantumu menarik tuasnya,” kata Hegar tiba-tiba mendatangiku, mulai membantu mendorong tuas agar kembali ke posisinya semula.

“Oh, ya. Trims,” sahutku heran. “Kau tidak ikut membantu mereka, Hegar?”

“Tidak,” Hegar menggeleng, suara paraunya terdengar getir. “Aku mengurusi pesakitan, bukannya mayat.”

Seorang perempuan tua berteriak keras memanggil nama salah satu mayat yang turun dan di geletakan di tanah. Sepintas aku termenung dalam duka dan rasa iba pada perempuan tua itu.

“Mengerikan, eh?” tanya Hegar.

Aku mengangguk pelan.

“Begitulah perang, nak,” gerutu Hegar. “Nyonya itu,”—dia menunjuk pada perempuan yang kulihat tadi—“dua kali datang ke Devlen dan harus membawa anaknya ke pemakaman lagi. Tapi, lihatlah Sir Goelleyn. Dia bahkan sama sekali tidak melihat barang sekalipun ke arah para mayat-mayat. Dia tidak sadar bahwa mayat-mayat itu mempertaruhkan napas mereka hanya untuk menjaga pelat besinya agar tidak penyok dan terus berkilat! Bangsat gila dia!”

Sesosok lelaki tegap dengan baju zirah bersepuh kuningan lewat di hadapan kami. Tatapannya angkuh dan dingin, menjadikan guratan wajahnya terlalu tajam seperti patung. Indah, tampan, namun tidak manusiawi. Dia jarang berbicara di depan publik apalagi kepada orang-orang sepertiku dan Hegar. Kami melihat, menilai dan memutuskan komandan perang Goelleyn bukanlah yang terbijak yang bisa diandalkan oleh Asgar—atau kami, setidaknya.

Hegar mencibir keras pada balik punggung Lord Goelleyn yang semakin menjauh dan hilang, masuk ke dalam benteng.

“Apa yang mereka bawa?” tanyaku, penasaran melihat beberapa prajurit mengawal seorang perempuan bercadar dengan penjagaan yang ketat.

“Penghuni rumah bordir yang baru, barangkali,” jawab Hegar asal. “Tawanan perang Naridia untuk memuaskan mereka semua.”

Aku meringis ngeri, berharap Hegar bercanda dengan omongannya mengenai perempuan itu. Meskipun wajahnya tidak terlihat karena cadar hitam, tubuh perempuan itu kecil. Rapuh seperti kaca. Kulitnya putih dan nyaris berpendar menimbulkan kemilau-kemilau cahaya temaram.

Kemilau cahaya..?

Aku mengerjapkan mataku, berkali-kali. Sepanjang sepengetahuanku, tidak pernah ada seorang makhluk fana yang menghasilkan kemilau cahaya dari kulitnya. Tapi apa ini? Aku melihat seorang wanita bercadar, diborgol leher, tangan dan kedua kakinya, dan dia menghasilkan cahaya berpendar.

Mimpi, atau aku benar-benar sudah menjadi gila?

“T-tapi dia bercahaya, Hegar,” ujarku kedengaran panik untuk diriku sendiri. “Ma-makhluk apa itu?”

“Bercahaya katamu?”

“Y-yeah. Kau tak lihat itu?” Tanpa sadar jariku menunjuk sosok perempuan dan pengawalnya, membelalakkan mata begitu takjub.

“Ti—dak,” Alis mata Hegar bertautan. Memandangku seperti orang pesakitan. “Kau yakin kau tak apa-apa, nak? Kau terlihat pucat.”

Aku terperangah. Gemetar rasa takut berdesir dekat tengkukku membuat jantungku berdebar kencang. Aku terpaku menatapnya, perempuan dengan kemilau-kemilau cahaya indah yang semakin menjauh dari pandanganku.

Tapi kemudian dia berhenti. Perempuan itu menoleh ke arahku sepintas dan tersenyum. Rasanya dari jarak beberapa meter jauhnya aku bisa mendengarnya terkikik geli, menertawakanku.

Saat itu aku belum tahu, tentu, bahwa roda takdirku telah berputar.

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Eksperimen

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) wah. kamu benar-benar deh...
    imaginasinya tinggi sekali. respect!

  • (Penulis)
    2) Makasih sudah baca, Zu ^^
    yang ini masih Draft coba-coba, hehe

Cerpen-cerpen lain nukilan Lumia

Read all stories by Lumia