BIDADARI SETENGAH BIDADARI

 

Entah mengapa kopi pahit terasa lebih enak pagi ini, pisang goreng yang tak manis dan setengah dingin itu pun tak lagi menjadi bahan umpatan favoritku, saat rutinitas pagiku : sarapan di warung kopi Mbok Ijah. Ingatanku melayang-layang ke Rembulan yang begitu kemilau, walau bopeng-bopeng ternampak di permukaan, tetap sempurna indahnya ternyata di mataku. Dara manis berlesung pipit, bertahi lalat sebesar kacang hijau di bawah hidung dan bertubuh sedikit tambun. Ah, ketidaksempurnaan yang sangat sempurna.

Seperti lembar waktu yang mengkerut
Ku rangkum setiap kelebat
Setiap dekat yang singkat
Lalu kau jadikan kupu-kupu

Kau adalah rigiditas mantap, kelenturan-kelenturan fleksibilitas
Kerekayasaan global, goal statement yang lekat dengan
Kefungsionalan kekuatan keindahan

Kau bukan produk massal , sebuah ketakkembaran
Mahakarya special tak bersaing
Detail-detail tanpa perulangan, pemenuhan tertinggi
Sebagai kontur-kontur fluktuatif yang tak bisa diabaikan

Kadang kupikir kau zepiranthus putih
Yang layak temani patung kuda seberang istana
Miliki hati seluas samudera
Yang muaranya sanggup menampung bercabang sungai*)

Ku tertegun mencari padanan kata-kata apa lagi untuk mendeskripsikan engkau, bidadari yang separuh bidadari, karena engkau tak bersayap dan tak berambut indah. Kau juga tak punya lingkaran halo yang berkelap-kelip indah di atas rambutmu yang seharusnya kemilau. Kau pun tak mengenakan selembar kain putih tipis pelapis ragamu. Lalu seperti apakah aku akan mendeskripsikan cantikmu?entahlah..satu yang ku tahu, engkau punya hati cantik sangat.

Inputan data mengenai jumlah besi pasak yang akan dipergunakan bagian produksi untuk ekshibisi tanggal 30 Juli besok, berserakan di meja yang tak besar itu, tak cukup besar menampung serakan kertas-kertas bon perincian barang yang datang dari Jakarta tadi malam. Sama seperti cerebrum dan cerebellumku yang tak lagi dapat menampung danau-danau indah tali kenangku akan separuh bidadariku dari ujung pulau itu.
“ Mas Randu, data mengenai besi pasak tadi udah di-emailkan ke saya sudah apa belum ya?” Tanya Herman, supervisor bagian produksi, menghapus awang-awanku mengenai tahi lalat sebesar kacang hijau di wajah setengah bidadariku itu..
Huh..mengganggu saja, bathinku.
“ Oia, nih mas..ada beberapa bon yang masih belum masuk ke tanganku, nanti mau ku telpon suppliernya, mungkin besok pagi deh, aku emailkan ke kamu, gak pa-pa kan?” jawabku sedikit berbohong.
Aduh, pastilah engkau tak akan suka wahai setengah bidadariku jika engkau tahu aku berbohong. Setiap kali aku berbohong, marah, atau mengumpat lantaran emosi, yang hampir sering aku lakukan sebelum ku kenal dirimu. Kau hanya akan mengucapkan satu kata, panggilan takzimmu kepadaku dengan nada yang tak akan pernah bisa kujabarkan : “maas..” hanya kata itu, tanpa embel-embel makian atau hanya justifikasi darimu. Hanya ada sedikit manja, rajukkan, dan peringatan di dalamnya. Tak sadar kedua ujung bibirku tertarik keatas.

“ Kamu lagi jatuh cinta yo Le?” Tanya ibundaku tanpa tedeng aling-aling suatu hari ketika menemukanku sedang menatap foto-fotomu.
Kutatap mata tuanya, ada rasa syukur di sana.
“Ah, Bu’ne ini ada-ada saja..” Elakku kala itu.
Sekeras apapun aku mencoba untuk mengelak, coba membohongi nurani, tetap tak bisa, aku telah jatuh cinta terlalu dalam ke setengah bidadari ujung pulauku, yang kerap kupanggil Dinda itu. Ya, Tuhan kenapa, begitu dalam kurasa sayang ini kepada Dindaku, padahal tali kenang kita baru sumur kecambah yang baru bertunas semalam tadi. Absurd memang, tapi itulah rasa,tak akan pernah bisa di logika. Duh, betapa engkau memang Betari Pinayungan Swargalokaku.

Adinda, kuingat memejam mata dan merona pipimu tatkala lembut jemariku mengelus kepalamu yang tersandar di bahuku yang tak kekar, waktu itu ketika manja menyelimuti lakumu.
Hatiku bisa membeda setiap arti belaian mas, manakala itu beraroma kasih dan sayang atau tatkala belaian itu bernafaskan nafsu. Lembut suaramu, kala kutanya mengapa memerah rona serasa kelopak mawar merah muda yang ada di teras rumahmu. Ya, Tuhan, betapa aku menyanyangi wanita ini.
Dan, ketika aku ingin menyampaikan kasihku padamu lewat cara lain, lebih dari sekedar elusan di anak rambutmu yang tak terlalu hitam itu. Engkau mengelak pelak, membuatku tercekat:
“ Dinda, bolehkah masmu ini mengecupmu?” pintaku saat itu, nekat, sambil menatap matanya lekat-lekat. Yakinlah dia akan luruh tak menolak inginku saat kupancarkan ketulusan di kedua bola mataku. Bathinku yakin.
“ Mas..” . Sahutnya sambil mengedipkan matanya yang kecil namun jernih itu perlahan. Ah, kudengar nada itu lagi.
“ Aku tahu,mas Randu sayang sekali terhadapku. Dan aku yakin terhadap iman mas, tak mungkinlah engkau melewati batas-batas yang ada. Tapi mas, justru aku yang tak cukup yakin akan kekuatan diriku sendiri untuk menahan mauku atas batas itu mas. Maafkan aku, karena tak mungkin mengijinkan engkau untuk mengecupku, untuk saat ini. Yakinlah mas, engkau akan merasa sangat bersyukur, ketika ijab itu datang, engkau akan mendapatkan kecupan yang terindah, karena akan kuberikan kepadamu apa yang selama ini kujaga dengan segenap hati sebagi persembahan kepada imamku, nantinya. Maafkan aku mas, aku harap kau mengerti..” Jelasmu panjang lebar.
Tergugu aku kala itu, kata-katamu sungguh lugu. Membuatku menyadari betapa bodohnya aku, kenapa kucoba bobol bentengmu yang kuat itu. Bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri, jika hal itu terjadi padamu. TIDAK! Akan kujaga engkau segenap hati, Adindaku, dalam lelap dan sadarmu. Baik dari angkara bejat di luar sana, maupun dari kungkungan durjana kelaki-lakianku sendiri!

Sisa hujan di hampir senja yang menemaniku melarut dan kian tenggelam dalam indahnya dekik di pipi kirimu. Serentak pelangi menampakkan anggunnya dilatari dengan siluet senja yang menjingga, ah..kuambil jurnal harianku, kugoreskan penaku di lembar yang hampir penuh oleh coretan-coretanku tentangmu.
Apa ada di ujung pelangi?
Apakah emas sekuali?
Atau cantik bidadari sedang mandi?

Akh, Tuhan sedang bermurah
Senja ini hujan mencurah
Aku sumringah, menengadah menunggu indah

Mejikihibiniu melengkung malu-malu
Aku sesaat kelu, lalu kaki segera kupacu
Biarlah tubuh menggerimis-basah
Terusku ke ujung terengah

Di tengah-tengah kuhenti
Ada kau mendekap seri
Telanjang riang,
Mandi sisa hujan
Segera kubangun kemah
Tawarkan sebagai kediaman

Ada apa di jung pelangi?
Aku tak peduli bidadari sudah di sisi
Sedang emas setelah sepelukan bumi
Ku kan tetap di sini
Hingga apai unggun mati nanti
Tapi tenanglah kalian
Kubanyak bawa perbekalan
: “batu api“ **)

Adinda, aku memang tak peduli ada apa di ujung pelangi hari ini atau nanti, apakah ada bidadari yang penuh bidadari, bidadari yang hanya tigaperempat bidadari atau yang paling menakutkan adalah hanya tersedia bidadari yang sudah tak lagi bidadari. Aku juga tak peduli berapa banyaknya emas sepikulan yang telah dijanjikan oleh surga duniawi, yang kutahu engkau kini ada di sisiku, dan rizkiku mengikuti kebersamaanku denganmu. Aku yakin itu.

Mungkin engkau akan selalu mempertanyakan keyakinanku ini yang sangat kepadamu. Tapi, kuberitahu kau dinda, takwil ini tak akan berdusta. Mungkin sebelumnya jika engkau mendengar lagu yang dinyanyikan Savage Garden “I Knew I Loved You before I Met you” terasa absurd di telinga. Tapi, dinda..itu nyata aku alami terhadapmu, bagaimana aku sangat mengakrabi ikal mayang rambutmu, dekik di pipi kirimu, dan maaf, suara tak merdumu juga tambun ragamu, jikalau aku tak pernah sua dirimu. Karena sesungguhnya aku telah ‘mengenalmu’ jauh sebelum aku mengenalmu saat ini.

Senyum kebanggan di wajahmu yang sedikit memerah dan berkeringat, ketika kupuji tulus tentang nikmatnya CapCay goreng yang kau buatkan untukku. Kau tak pedulikan lagi bajumu yang berbau asap dan perihnya matamu saat kau siangi bawang merah. ‘Sudah biasa’ dalihmu. Dan kedua pipi itu kian memerah ketika kupinta kesediaanmu nantinya untuk menyiapkan masakan istimewa ini untukku tiap hari, di saat ku pulang dari penatnya ruang kerjaku. Juga disertai oleh satu dekik yang menyertai sebuah senyum pengobat letih jiwaku oleh tempaan pekerjan.

Kau takkan pernah merasa terberkahinya aku, dindaku terkasih. Saat kau anggukkan kepalamu, dan bertambahlah sayangku padamu dengan bertambahnya semburat merah di kedua pipimu. Ah, dinda..kenapa engkau mudah sekali tersipu.

Seakan ruangan kamarku bergetar dahsyat, ketika pintu kamarku nyaris rubuh oleh ketukan dari luar.
“ Mas Randuuuuuuu, banguunn..sudah subuh!!”

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Eksperimen

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) Assalamualaikum Zhy...

  • (Penulis)
    2) wa'alaikumsalam ze..
  • 3) lengkap nih... ada ze, zai, zhy, zu... huhu... :p


  • (Penulis)
    4) hihi..

    iya, nih ya mbak zu..
    itu juga si ze yang kasih nama..
    hehehe..

    duh zhy belom sempet mampir ke tempat mbak zu..
    masih belum akrab ma cara2 di kapasitor..
  • 5) komen jalan cerita : ceritanya sweet banget. Descripsi tetang bidadari kamu memang jelas..nyata sekali kepeibadiannya.. :)


    komen penulisan : saya sangat suka adanya puisi di situ. Puisi yang pertama buat saya terseyum membacanya. Erm, tatabahasanya sy gak bisa komen..sy lagi gak arif sama bahasa indonesia.

    ze bisa gak editkan dikit penulisannya..cuma spacekan aja ayat2 dialognya itu. Asingkan dari perenggan. Agar bisa di baca dengan lebih cantik. :)
  • 6) hm....... udah diborong sama nurie, ngomong apa lagi, jadi bingung.. he he he.. :D
  • 7) ai lam kenal

Cerpen-cerpen lain nukilan orchid

Read all stories by orchid
No stories.