Permintaannya

  • 2
  • Lumia
  • 15 years ago
  • 3,398
  • FREE

 

Aku menangis dalam diamku. Sekian hari aku berada di tempat ini, terbelenggu dendam dan perasaan jijik yang tak kunjung membuatku lepas.

Mereka meninggalkanku di tempat yang sepi ini. Gelap dan dingin, mencabik-cabik kewarasanku sedemikian rupa. Melupakan siapa sebenarnya aku, darimana asalku, siapa keluargaku.

Tubuhku dipenuhi borok bernanah yang mengerikan. Terkadang darah mengucur tak terduga bersamaan dengan nanah kuning dan berbau busuk itu. Mata hitamku tumbuh dengan sejuta kebencian yang ditanamkan oleh lingkungan jahanam ini. Kuku-kukuku panjang dan kotor. Keberadaanku dilupakan. Semua orang menistakan diriku, aku diiring ke jalanan, diolok-olok serendah kotoran binatang.

Aku lupa kapan terakhir kali aku mengeluarkan suaraku. Mereka telah membuatku mengunci mulutku dengan sumpah serapah. Aku lupa nama-nama emosi yang harusnya pernah kurasakan. Aku bahkan lupa betapa indah dan hangatnya sinar matahari ketika menerpa kulitku.

Satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk menghiburku hanyalah sebuah nama yang pelan-pelan selalu kudendangkan ketika mereka mulai melupakanku. “...Angelle... Angelle..”

Kurasa itulah namaku. Satu-satunya memori indah yang bisa kupertahankan dan membuatku merasa hangat di dinding kotor tempatku menyenderkan kepalaku yang berat.

Rasa sakit bukanlah hal yang tidak biasa bagiku. Mereka selalu datang ke tempatku yang berjeruji besi untuk mencambukiku, menyayat-nyayat tanganku, apapun untuk membuatku berteriak dan menangis meminta ampun. Darahku tercecer dimana-mana, basah dan kemudian mengering akibat udara.

Aku pernah menjerit, “Apa salahku? Apa salahku?”

Tapi mereka bahkan tidak pernah menganggap suaraku layak didengar. Mereka tertawa-tawa, membenturkan kepalaku ke dinding dan membiarkanku jatuh terkapar nyaris kehabisan darah. “Kau salah karena telah dilahirkan oleh perempuan jahanam itu. Kau bahkan telah begitu salah dan najis sehingga Tuhan-pun membuangmu!”

Aku benci mereka. Aku benci diriku sendiri. Aku berharap mereka mati! Mati dengan usus terburai dan diludahi!

Bahkan disaat aku menggigil kedinginan seperti sekarang ini, sumpah serapah itu terus meluncur dari mulutku. Mereka harus mati. Mereka harus mati. Aku bersumpah, mereka akan mati!

Pintu jerujiku terbuka, membuatku tersentak. Sosok-sosok tak dikenal masuk ke dalam tempatku. Orang-orang asing, mereka bukan orang-orang itu. Aku merapat ke dinding, merasa terancam.

Orang-orang asing itu menatapku dengan berminat. Wajah mereka pucat dan berpendaran dalam ruang gelap tempatku. Mereka memiliki mata merah berselaput seperti binatang buas. Di sekujur tubuh mereka tercium bau anyir darah yang menusuk hidung. Kejam, namun indah.

“Ada satu yang tersisa disini, Seth,” desis salah satu dari sosok itu, yang mengherankan, terdengar begitu merdu. “Perempuan kecil.”

“Salah satu dari mereka?” terdengar sebuah suara, berat dan dalam, menenangkan. Kelihatannya dia berada jauh di belakang sosok-sosok asing yang masuk ke tempatku. “Keluarga mereka?”

“Bukan,” sahut suara pertama, mengendus udara. “Baunya... berbeda.”

Sosok-sosok asing itu kemudian menyingkir, memberi seseorang jalan untuk masuk ke dalam tempatku. Kelihatannya dia dihormati dan paling tua, beberapa dari yang lain menatapnya segan. Rambutnya hitam membingkai wajah tirusnya seperti tirai. Matanya sama seperti yang lain, merah berselaput, namun memiliki sorot mata yang lain. Yang berbeda.

Dia melihatku, berjalan menghampiriku yang semakin merapat ke dinding.

“Perempuan kecil yang menyedihkan,” ujarnya simpatik, berlutut, menyetarakan tatapannya dengan tinggiku yang tak sampai menyentuh sikunya.

“Apa yang akan kita lakukan terhadapnya, Seth?”

“Tidak ada,” katanya dingin. “Biarkan dia disini, mati bersama bangkai-bangkai manusia itu.”

Orang-orang di belakang lelaki bernama Seth itu tertawa-tawa.

“Kemana mereka?” tanyaku, tawa-tawa itu hilang meninggalkan sunyi. “Kemana orang-orang itu?”

Mata Seth tajam menatapku, membuatku takut. “Kenapa kau mencari-cari mereka gadis kecil? Bukankah mereka yang menyiksamu seperti ini?”

Aku mengangguk. “Aku hanya ingin tahu, apakah kau yang membunuh mereka?”

Seth menenglengkan kepalanya, menimbang-nimbang jawaban. “Yeah..” katanya kemudian. “Lalu apa yang kau inginkan?”

“Bunuh aku,” kataku.

Orang-orang di belakang lelaki bernama Seth itu tertawa-tawa lagi, mengingatkanku pada olok-olok mereka. Tapi Seth menatapku dalam-dalam, serius, membuatku hangat dan diluar dugaan merasa tenang. “Apa kau mengerti apa yang kau minta itu, gadis kecil?”

Aku mengangguk, sepenuhnya perasaan takut itu menghilang.

“Kau tidak serius kan, Seth?” tawa-tawa itu terdengar semakin nyaring.

Seth terdiam, melihat lebih jauh ke dalam mataku. Entah apa yang dicarinya dengan tatapan itu aku tidak peduli, asalkan dia mau melakukan itu. Asalkan dia mau membunuhku, melepaskanku dari belenggu tempat ini.

“Akan kukabulkan,” desah Seth pelan, tawa-tawa itu berganti menjadi desis gila-gilaan.

“Biarkan aku yang mencabiknya, Seth!”

“Aku ingin membenamkan taringku!”

“Aku ingin mengoyak ususnya, Seth!”

Seth bergerak mendekatiku sementara ratapan-ratapan terdengar menggantikan desis gila-gilaan itu. Gigi-giginya tajam dan mengerikan. Tak sanggup melihatnya lebih dekat lagi, aku menutup mata, bersiap merengkuh kematian. Seth membenamkan giginya ke leherku.

Aku bisa merasakannya. Rasa sakit yang luar biasa, panas dan memabukkan. Nadiku mengejang, menyemburkan darah. Banyak sekali. Bergejolak, menyakitkan. Seolah ada sesuatu yang memberontak keluar dari tubuhku. Kepalaku pening, seluruh pemandangan itu berpusing kencang dalam kepalaku.

Kemudian aku tergeletak di lantai yang dingin.

Mati.

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Eksperimen

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) terkesan mengerikan ya. penuh luapan emosi, penuh detail tentang situasi yang menyeksakan untuk watak perempuan kecil itu.

    cuman latar cerita saja yang tidak jelas sih, dan aku bisa menangkap perkataan jeruji di sini. barangkali di penjara. tetapi ada juga situasi kalo perempuan itu seolah berada di pinggiran jalan. ah apa pun, masih mantap. penuh imaginatif.

    salam karya

  • (Penulis)
    2) Cerita ini memang gila, dalam artian masih mentah dan belum memikirkan soal setting (atau kepikiran untuk menceritakan soal setting)

    Terima kasih sudah membaca

Cerpen-cerpen lain nukilan Lumia

Read all stories by Lumia