SERIBU BUNGA & SERIBU PELURU

 

SERIBU BUNGA & SERIBU PELURU

 

Bambang Priantono

 

 

Seribu itu pamungkas angka ratusan

Namun bukan yang terakhir

Karena ia menjadi awalan baru

Awalan untuk angka selanjutnya

Rania sangat senang mengumpulkan segala sesuatu yang beraroma atau mengandung angka 1000. Demikian pula dengan Aziza, sama-sama senang mengkoleksi semua yang berangka atau berjumlah seribu. Keduanya bersahabat karena kesamaan hobi itu, meskipun mereka sendiri tinggal di tempat yang berjauhan. Rania di Libanon, sedangkan Aziza di Surabaya. Pertama kali mereka berjumpa dalam sebuah milis internasional, demi mengetahui kesenangan yang sama….angka 1000! Semenjak itulah mereka saling berhubungan, dengan pembahasan tentang 1000, 1000 dan 1000. Di pos-el, Rania dan Azizah berkenalan dengan cara yang unik akibat saling membaca data masing-masing di milis: Salam, Namaku Aziza Putri Ayuningsih, asalku Surabaya, Indonesia, panggil saja aku Ziza dan aku paling senang mengumpulkan segala sesuatu yang berbau atau mengandung angka dan jumlah seribu. Salam kenal..

Bersambung dengan balasan dari Rania yang berbunyi : Salam. How do you do? Kaifa Haluka? Namaku Rania Haniyeh. Aku tinggal bersama orangtuaku di Beirut,, Libanon dan hobimu ternyata sama denganku. Senang sekali!. Bagaimana kalau kita saling tukar suatu saat nanti?

Salam manis…

Hanya dengan cara itu mereka akhirnya saling berkenalan. Setelah membaca balasan Rania tadi, Aziza bergegas membuka salah satu lemari dikamarnya. Lemari kecil yang berada disamping tempat tidurnya itu memang sering ditutupnya rapat-rapat. Kemudian, setelah terbuka, Aziza mengambil kotak besar terbuat dari kayu berukir berwarna coklat tua, terkesan antik namun terawat. Selanjutnya dia mengeluarkan apa saja yang berada didalam peti kayu yang dia simpan dalam lemari tersebut. Dan bergumam sendiri..

“Seribu bunga.” Dia mengeluarkan botol kecil berisi cairan wangi yang dibelinya di kawasan Ampel. Aziza menghirup aroma botol kecil itu dalam-dalam, iya, parfum seribu bunga yang katanya jadi favorit orang Banjar. Alasannya sederhana, karena ada kata “seribu” itu Aziza mengoleksinya.

“Perangko-perangko.” Sekali lagi Aziza bergumam, dikeluarkannya beberapa prangko bernilai nominal 1000. Kebanyakan prangko Indonesia baik keluaran baru, maupun lama. Ditatanya prangko itu berjajar dengan parfum seribu bunga.

Sejurus kemudian, Aziza melongok kedalam kotak kayunya. “Aah, uang seribuan.” Dia mengeluarkan lagi lembaran kertas bernilai 1000 rupiah. Aziza masih ingat bagaimana dia mencari-cari lembaran seribuan dari yang bergambar Dr. Soetomo hingga yang sekarang ini, ditambah selembar mata uang Iran senilai 1000 Riyal yang didapatnya dari sahabat penanya Nilouvar asal Iran.

Dikeluarkannya semua isi petinya, ada uang logam senilai 1000 rupiah sebanyak 2 buah, pensil bergambarkan angka 1000, bahkan boneka berbentuk kaki seribu meskipun jumlahnya tidak sampai seribu, lilin berbentuk angka 1000 hingga t-shirt yang bertuliskan angka 1000pun dia keluarkan, intinya dari yang kecil sampai yang besar. Bagi Aziza, itu seribu. Begitu saja. Buru-buru Aziza mengambil kamera digitalnya dan mengabadikan semua koleksinya itu dan segera dikirimnya ke pos-el Rania nun jauh di Libanon…Yah, meskipun koleksi yang sederhana, namun Aziza merasa senang. Gadis berjilbab itu dengan riang mengirimkan foto-foto koleksinya. Sebanyak 5 file dia kirimkan, setelah klik attachment dan semua fotonya terunduhkan. Aziza menuliskan pesan kepada Rania. : Assalamualaikum Rania, Bagaimana kabarmu disana? Bagaimana suasana Beirut saat ini? Ini aku kirimkan beberapa fotoku. Koleksiku tentang semua yang seribu. Apa makna seribu bagimu?

Selamat menikmati, Ziza

Malam itu Aziza berharap-harap cemas, seperti apa ya koleksi Rania? Apakah sama dengan dirinya? Ataukah berbeda? Dia sendiri terheran-heran, kenapa dia sampai menyukai angka 1000 sampai dengan pernik-perniknyapun dia cari. Keesokan harinya saat Aziza pulang kuliah, tanpa makan siang terlebih dahulu bergegaslah dia menghadap kekasihnya tercinta….layar komputer! Dihidupkannya, dan dengan segera seisi dunia terhubung didepan layarnya yang kecil. Ada surat masuk! Aziza sangat senang, karena Rania membalas dengan segera. Dibukanya surat maya itu dan ada selarik kalimat singkat disana : Waalaikumsalam Ziza, ini koleksiku….jangan kaget ya…J

Attachment yang terlampir disana dia buka, hingga akhirnya terbukalah sebanyak 15 file! Dibukanya file pertama! Mata uang dari berbagai negara dengan nominal masing-masing 1000! Aziza menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan main..!” ucapnya dalam hati. Dia terus membuka sebanyak 13 file, hingga akhirnya pada file terakhir sangat mengejutkan baginya!

“Ya Allah! Peluru!” Rania mengoleksi seribu peluru…peluru-peluru besar dan kecil tersusun dalam sebuah kotak kayu besar, ada yang masih mengkilap, ada juga yang sudah kosong dan Rania berpose dengan senyum manisnya disana. Dia berjilbab hitam!

“Benar-benar aneh.” Desis Aziza kemudian. Kemudian dia segera membalas surat maya Rania. Rania, koleksi seribumu bagus sekali. Tetapi, mengapa kau juga mengoleksi seribu peluru?Sungguh aneh.

Pertanyaan yang menggantung dibenak Aziza, terlebih dia mengetahui kalau Libanon merupakan kawasan yang bertetangga dengan wilayah konflik Palestina.  Gadis yang aneh, mengumpulkan peluru sedemikian banyaknya dan untuk apa dia menyimpan semua itu? Aziza hanya menunggu jawaban dari Rania, sementara dia sendiri terus menerka-nerka bagaikan meraba jalan keluar digua yang gelap dan sunyi.

 

***

Ada jawaban dari Rania….dan ini yang membuat Aziza mulai memahami sebab-sebab Rania menghimpun seribu peluru tersebut : Kau tahu Aziza, aku begitu menyukai peluru-peluru ini. Sengaja kukumpulkan dari rongsokan-rongsokan peperangan. Peperangan yang mengkoyak-koyak negeri kami menjadi terkeping-keping. Aku masih ingat pada sebutir peluru yang mengenai kaki ayahku hingga cacat saat berjaga di jalur hijau, iya…saat aku masih kecil. Peluru itu disimpan ayahku, dan diberikan padaku sebagai kenang-kenangan. Sejak itulah aku berusaha memburu peluru sebanyak mungkin di dekat rumah, hingga aku pergi ke Naqurah, Sayda (Sidon), Tsur (Tyre), Ba’labak (Baalbek),dan Bekaa untuk menghimpun peluru-peluru tersebut hingga mencapai seribu buah.

Azizah bertanya lagi dalam surat mayanya : Dan setelah kau himpun semua peluru itu hingga seribu buah, hendak kau apakan peluru-peluru itu?

Jawab Rania dalam surat berikutnya : Peluru ini aku simpan sebagai tanda mata. Peluru yang dipakai Israel, peluru Hizbullah, peluru pihak Kristen, peluru tentara Suriah dan para pejuang Palestina. Setiap butir peluru ini bagiku mengandung seribu cerita, seribu tragedi.

Aziza tercenung sesaat manakala membaca bagian akhir dari surat Rania. Kata seribu itu terngiang dalam alam pikirannya…seribu cerita, seribu tragedi. Darah muda Aziza terasa makin panas, karena mengingat begitu banyaknya jiwa yang melayang karena butiran timah panas, atas nama pembelaan diri, atas nama kebanggaan dan atas nama kemanusiaan bahkan. Dalam surat berikutnya, Aziza membalas : Darahku serasa makin panas, manakala kata tragedi terjulangkan ketika kau ceritakan tentang seribu peluru itu. Apakah harus aku balas dengan seribu bunga untuk menggantikan seribu peluru tadi?

Jawaban yang diberikan Rania justru membuat Aziza bingung : Mari kita buat seribu bunga dari kertas warna-warni. Mau kan?

Aziza didalam aura kebingungannya mengajukan pertanyaannya disurat maya yang sama : Apa kau serius?

Jawab Rania : Iya

Aziza akhirnya menjawab : Baiklah, kapan batas waktunya?

Sampai bulan purnama bersinar nanti diwilayahmu. Rania memberi kepastian.

Kapan kita mulai?dan untuk apa? Aziza tetap ragu

Hingga balasan berikutnya dalam pos-el, Rania mengatakan “Besok kita mulai, dan ini sebagai lambang karena kita menyukai angka dan jumlah seribu. Aku suka penjelasanmu tentang parfum seribu bunga, meski tidak mungkin itu dari seribu bunga. Dan aku akan tukar bunga buatanku dengan buatanmu. Jangan hubungi aku kalau 1000 bunga itu belum selesai”

Aziza hanya diam, sambil memikirkan cara untuk membuat seribu bunga itu. Bukan hanya dalam bentuk parfum, namun dalam wujudnya yang nyata. Seribu Peluru dan Seribu Bunga. Bagaikan taman seribu bunga yang siap mengembang mekar.

 

***

Aziza sibuk membeli berbagai kertas warna warni dari yang biasa sampai kertas gloss mengkilap yang rencananya akan dia tunjukkan kepada Rania saat nanti. Aziza sempat memetik secara diam-diam mawar milik tetangganya Ibu Ros yang cerewet sehingga keesokan harinya Ibu Ros ngomel-ngomel tak karuan karena mawar kesayangannya dicuri oleh Aziza…Melihat Ibu Ros yang demikian, Aziza hanya tertawa-tawa kecil, terlebih saat wanita paruh baya itu mengomel untuk kemudian menangisi mawarnya yang hilang satu.

Rasain, itulah makanya kalau pelit-pelit.” Kata Aziza pelan dibalik kamarnya.

Aziza mulai sibuk membuat bunga kecil-kecil dari kertas warna-warni yang dia beli sebelumnya. Satu demi satu bunga-bunga itu dia buat, model mawar yang dibuatnya terlebih dahulu. Menjelang sore, sudah ada 50 buah mawar kertas yang berhasil dibuatnya, karena kebetulan dia cukup ahli dalam papier mache.  Dia pandangi ke-50 mawar tadi, merah, kuning, hijau, biru, jingga hingga hitam. “Ah, masih kurang 950 buah lagi. Aku harus cepat-cepat.” Batin Aziza.

 

***

Beberapa hari kemudian, Aziza masih berkutat dengan bunga kertasnya. Tanpa terasa bunga-bunga kertas itu sudah mulai memenuhi meja belajarnya, hingga dia sendiri kewalahan. Ketika dihitung-hitung, sudah mencapai hampir 500 buah dengan aneka ragam bentuknya. Aziza bersyukur karena sempat belajar membuat bunga kertas dari Neneknya waktu berlibur didesa beberapa waktu yang lalu. Masih terngiang dipikirannya kata-kata Rania “Jangan hubungi aku kalau 1000 bunga itu belum selesai.” Memang perasaan lelah sudah mendera Aziza, namun demi janjinya untuk membuat 1000 bunga tadi dia rela melakukannya.

Mawar, anyelir, anggrek, alamanda, tulip semuanya sudah dibuat olehnya. Masih ada 500 bunga lagi yang harus diselesaikan, dan menurut rencana akan dikirimkan ke Libanon sebagai tanda kenangan atas kegemaran mereka akan angka 1000.

Pernah dalam percakapan telepon jarak jauh, dan Aziza masih ingat, Rania pernah berucap

“Mungkin hobi kita ini aneh bagi orang-orang, tapi percayalah kalau kita tidak akan merugikan siapapun hanya kita gemar mengumpulkan seribu.”

“Hmm…mungkin kau benar Rania, memang jumlah seribu itu terasa remeh. Tetapi bagi kita jumlah seribu itu sangat berarti.” Ujar Aziza waktu itu.

Angka seribu adalah penutup angka ratusan, dan pastinya dari sinilah ribuan akan dimulai. Itu yang dipegang oleh Aziza, sehingga dia makin bersemangat untuk membuat bunga sebanyak 500 lagi.

Kadang, Aziza merasa sangat stress, karena bunga yang dia buat tidak kunjung selesai, sementara waktunya sudah sangat dekat. Dia ingin cepat-cepat menghubungi Rania. Dia ingin agar bunga yang dibuatnya segera selesai untuk kemudian dikirimkannya ke Libanon. Sempat dia ingin berhenti karena lelah yang luar biasa, dimana bunga-bunga kertas buatannyapun dibiarkan terserak diseluruh penjuru kamarnya, namun suara hatinya mengatakan sesuatu yang dirasa aneh….

Selesaikan bunga itu….

Waktu sudah mengejar….

Rania sudah menunggu 1000 bunga itu…Cepat tunaikan tugas itu

Suara hati itulah yang membuat Aziza seolah mendapat nyawa baru. Api yang nyaris padam itu kemudian membakar kembali diri Aziza. Ingat Rania, ingat Beirut, dan membayangkan keindahan kota itu yang telah bangkit dari keterpurukannya selama belasan tahun akibat terkoyak perang saudara dan serangan-serangan Israel. Diuntainya kertas-kertas warna tadi setahap demi setahap, meskipun kini Aziza tidak terkesan buru-buru. Kini dia sadar, kalau suatu pekerjaan itu harus dilakukan dengan sepenuh hati, tanpa harus seperti dikejar setan. Tanpa terasa, Aziza menghitung…998…..999…….1000!!!

 

***

“Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menyelesaikannya.” Ucap Aziza menyelamati diri sendiri. 1000 bunga kertas yang masing-masing sebesar dua ibu jari itu berserakan memenuhi lantai kamar tidurnya. Dipandanginya kertas-kertas warna yang menjelma jadi 1000 bunga indah itu dengan perasaan takjub. Takjub karena keindahannya, takjub akan usahanya sendiri. Dia membayangkan Rania yang barangkali juga melakukan hal sama saat berhasil mengumpulkan peluru ke-1000.

“Rania, ini hadiah buatmu! Untuk kita yang sama-sama pengumpul serba 1000!” pekik Aziza, tetapi dalam hati. Bergegas dia membuka koneksi internetnya untuk memberi kabar kepada Rania.

Salam Rania. Akhirnya tunai sudah aku menyelesaikan bunga ke-1000. Akan segera kukirimkan untukmu…

Aziza

Pada pagi yang mulai bercahaya itu, Aziza bergegas memasukkan bunga-bunga kertasnya kedalam kotak kardus sedang. Dibungkusnya dengan rapi, dan dituliskannya alamat sesuai yang pernah diberikan oleh Rania pada saat pertemuan mayanya yang terakhir. Ibu Aziza sendiri merasa heran dengan kelakuan putrinya, karena pagi-pagi sudah membawa kotak besar. Namun Aziza tetap pergi menuju kantor pos besar untuk mengirimkan 1000 bunga tadi, yang telah dicampurnya dengan sedikit parfum 1000 bunga, dengan harapan Rania akan senang dengan bunga-bunga kertas itu. Sebagai pengikat sahabat yang punya hobi sama, mengumpulkan segala sesuatu yang berbau 1000!

 

***

Sudah hampir satu bulan tidak ada lagi kabar. Surat-surat maya yang dikirimkan Aziza kepada Rania tak satupun berbalas. Bahkan janji Rania untuk mengirim balik 1000 hal sebagai balasan atas kiriman Aziza juga tak kunjung datang. Aziza selalu melongok ke kotak pos manakala dia pulang kuliah. Namun tak ada. Lambat laun Aziza merasa jengkel dengan Rania yang dianggapnya tidak tepat janji. “Rania, kenapa kau tidak membalas kirimanku? Apa artinya persahabatan seribu ini kalau tidak juga ada balasan juga darimu?” Benar-benar dia berada diambang kecewa. Namun akhirnya dia pasrah, meski prasangka buruk itu muncul menggodanya. Prasangka yang mengatakan bahwa Rania tidak bersahabat lagi dengannya.

Suatu hari, ditengah prasangka dan kecewa tadi…Aziza saat itu sedang menyaksikan televisi. Dan kebetulan berita utamanya adalah..Serangan Israel ke Libanon. Aziza sangat terkejut, karena Libanon itu negeri Rania!

“Oh, tidak! Libanon!” tanpa sengaja Aziza terpekik. Dia berdoa semoga Rania tidak kenapa-kenapa sembari mengutuk kekejaman dan keangkuhan Zionis.

Dilayar televisi, dia menyaksikan beberapa bagian kota Beirut hancur terkena bom yang dijatuhkan Israel dengan alasan mencari gerilyawan Hizbullah. Beberapa orang berlarian karena panik, sementara puing-puing masih mengepul asap diiringi bunyi sirene ambulans yang mencari korban dan mengevakuasi yang wafat. Aziza merasa sangat bersalah, karena telah berburuk sangka kepada Rania. Pada saat tayangan dialihkan ke satu bagian puing. Tiba-tiba Aziza terpekik keras…

“Rania!”

Dilihatnya reruntuhan suatu apartemen yang dibom Israel, dan yang membuat Aziza makin histeris adalah…….

Diantara reruntuhan itu, berserakan bunga-bunga kertas bersama dengan peluru-peluru koleksi Rania yang dia lihat difoto. Bunga-bunga kertas kirimannya, iya! Kirimannya…… dan bunga-bunga itu bersimbah darah dan terlihat jenazah seorang gadis diangkat dari reruntuhan, Rania! Ya, itu Rania..Tidaaakk!!

Tidak, Innalillahi wa Innailaihi Roji’un!!!! Aziza seketika menangis tersedu-sedu.

 

Seribu bunga dan seribu peluru itu kini bersatu

Menyublim dalam keabadian

Mengiringi jiwa seorang anak manusia

Yang menjadi korban kekejaman sang durjana

Dalam Puing-puing peperangan

 

 

 

Malang, 250706

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Lain-lain

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) Assalamualaikum Wr. Wb.

    ada setitik embun di sudut kelopak
    ketika menulusuri setiap lariknya
    indah sekali...
    kenapa cinta tak pernah bisa menyentuh peperangan?

    selamat berkarya

  • (Penulis)
    2) memang demikian adanya..kadang cinta dipisahkan oleh dinding yang tebal dengan peperangan
  • 3) wah
    sepertinya, pertama kali ini aku membaca cerpenmu? koq bisa? ;p

  • (Penulis)
    4) hehehehe...masak sih

Cerpen-cerpen lain nukilan rumahangin

Read all stories by rumahangin