LUKA PEREMPUAN

 

~ Divin Nahb ~

RUMAH sederhana di ujung gang sudah hampir pecah. Setiap hari tidak pernah ketinggalan jeritan minta ampun dengan isak tangis meraung-raung. Tidak ada tetangga yang mencampuri urusan penghuni rumah itu lagi, jika golok sudah terancung-ancung di wajah mereka hanya beberapa senti saja dengan amarah meledak-ledak.

Pemabuk itu tidak layak disebut suami apalagi bapak. Pemabuk itu seharusnya sebut saja bajingan yang sok mengatur kehidupan rumah tangga. Kerjaannya hanya memberikan penderitaan.

Merah di leher yang seharusnya hadiah istimewa bagi seorang isteri yang dihadiahkan suami di atas ranjang paling bernapsu, tidak pemabuk itu berikan. Merah itu bukan sebuah ciuman yang sudah ditugaskan Tuhan padanya. Merah itu adalah memar-memar yang diberikan untuk isterinya. Bukan hanya di leher, tapi mata, mulut, dan hampir sekujur tubuhnya. Dunia ini seolah adalah kehidupan kejam yang beralaskan cinta. Sepertinya memang tak ada kata manis dari bibir laki-laki yang tak pernah habis meneguk botol-botol arak itu.

Setelah laki-laki itu puas dengan apa saja yang ada di tangannya. Ia benar-benar mencumbu isterinya sedemikian dasyat, layaknya binatang bahkan syetan. Dan, isterinya harus menahan sakit akibat pukulan beberapa jam lalu. Pergulatan ranjang ternyata membuat isterinya semakin menderita. Bukan sebuah belaian, tapi jambakkan. Bukan sebuah kecupan, tapi tamparan. Isterinya hanya melayani dengan air mata berderai. Usai, laki-laki itu mendorong isterinya keras yang masih telanjang. Ditinggalkannya sendiri. Menangis dan menangis, menemani malam yang semakin larut.

“Aku benci dia. Aku benci dia,” di luar kamar, di bawah meja makan, putri kecil menitikkan air mata sambil meremas-remas kuat kaki kayu yang tak bisa ia hancurkan dengan tangan mungilnya.

***

Telah berlalu. Semua sudah tenang di dalam tanah. Mati meninggalkan luka-luka dalam yang harus diderita setiap waktu. Kematian bukan sebuah kegelapan, kematian akan selalu dinanti dengan harapan baru. Kematian sebuah jalur lain menuju keabadian yang paling menyenangkan. Menantikan surga yang teramat dinantikan, yang dijanjikan Tuhan karena telah melayani suami. Tapi sayang, suami itu tidak bisa memberikan cinta dan kasih sayang. Begitu berat tugas yang harus ia jalani tiap detiknya. Seakan tak ada lagi kebahagiaan yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan uluran tangan Tuhan yang membawa ruh ke langit dan meninggalkan jasad dalam tanah.

“Ma, hanya ini hadiah yang paling terindah yang mama dapatkan. Berbahagialah, dan nikmati apa yang mama dapatkan di sana,” wanita itu menyeka air mata yang bergulir mengalir melewati pipi-pipinya yang halus.

Luka yang terus-menerus menganga memang sudah tertutup. Tapi luka batin wanita itu akan tetap menghantuinya sampai akhir kehidupan. Semua memang sudah berlalu. Dan semua meninggalkannya dalam kepedihan mendalam.

Saat laki-laki pemabuk itu pergi dari rumah, ibunya sakit-sakitan dan berakhir dengan kematian yang wanita itu yakin membawa kedamaian. Setiap tahun, di hari kematian ibunya, ia selalu mengunjungi makam. Seperti bertemu kawan lama yang menderita, ia menghibur makam terus-menerus. Ia senang sampai senja datang, lalu pamit dan mencium makam sambil mengucap rindu untuk pertemuan tahun berikutnya.

***

Wanita itu kini tinggal sendiri, setelah lepas dari asrama yang membesarkannya, sewaktu ibunya meninggal. Rumah yang ia tempati bukan rumah mewah, rumah kontrakkan yang kecil tapi di sanalah ia menemukan kedamaian seorang diri.

Ia bekerja sebagai guru di asrama tempatnya, dan menuangkan kesedihannya di atas kanvas. Tapi ia bukanlah pelukis yang menjual karyanya. Ia hanya menjadikan lukisan itu sebagai teman dekatnya. Semua lukisannya tentang wanita yang menangis, yang luka oleh kekejaman laki-laki. Tentang ibunya yang terluka oleh ayahnya sendiri. Terus melukis tanpa menoleh merubah gerak tangannya yang penuh kenangan pahit.

Pagipun datang, bukan tanpa cahaya melainkan membawa mendung. Pagi itu hujan merintik lalu agak menderas. Untunglah, karena hari itu ia tidak bekerja. Ia hanya duduk dekat tepi jendela, membuka jendela itu hingga percikan kecil air hujan menitik di wajahnya. Sepoi angin menyibakkan rambutnya yang terurai.

Orang-orang lalu-lalang di bawah payung dengan wajah penuh takut kalau-kalau hujan akan mengguyur kepala. Ada yang menggulung celana sampai lutut, atau menyingkap rok-rok mereka. Pergi kerja, ke sekolah, atau jalan ke warung-warung terdekat mungkin beli bumbu dapur untuk masak.

Mata wanita itu tertancap pada sebuah obyek yang berjalan. Matanya mengikuti langkah-langkah tiga orang sampai hilang dari pandangannya. Seorang bapak, ibu, dan gadis kecil sekolah dasar dalam satu payung besar dengan senyum melebar di sekujur wajah. Mereka senang. Tentu mereka senang, itu terlihat dari senyum-senyum mereka, pikir wanita itu.

“Aku juga ingin seperti itu. Tapi laki-laki itu kejam. Aku benci dia, sampai kapanpun aku benci dia!” batinnya bersuara.

Tangannya mencengkeram gordeng biru yang menghiasi jendela kontrakkannya. Selalu seperti itu, saat mengingat wajah ayahnya, ingin rasanya ia memukul dengan keras laki-laki yang menatap semua perempuan dengan mata licik. Menghadiahkan darah-darah merah dan kental dengan benda apapun di tangannya. Lalu, membuatnya memar-memar di seluruh tubuhnya tanpa ampun. Ya…tanpa ampun, seperti apa yang ayahnya lakukan pada ibunya sampai meninggalkannya sendiri di dunia ini.

“Ampun mas…..ampun. Jangan pukul aku lagi mas, ampun mas.” Suara itu menggema dalam pikirannya.

Tubuh wanita itu bergoyang keras, menggerakkan kursi yang berdenyit lemah. Tangannya mencengkeram rambut di dekat telinga dengan mata tertutup, bibirnya berucap lemah, “jangan…..jangan, lepaskan mama….lepaskan mama.”

Sampai kapan wanita itu akan tersiksa. Kenangan itu begitu kental dalam dirinya, begitu membekas, sampai jiwanya trauma. Ia benar-benar hampir tak pernah bicara kepada laki-laki. Setiap memandang mereka, mata wanita itu begitu menyimpan dendam, dan selalu saja ucapan yang ia lontarkan tak pernah ada kata manis. Semua seakan pahit di telinga para lelaki di hadapannya.

“Meisya, ada apa sebenarnya denganmu?!”

“Kenapa mulutmu begitu tajam terhadapku?”

“Apa aku punya salah yang membuatmu begitu benci?”

Penggalan-penggalan tanda tanya besar selalu mengelilinginya ketika ia harus berhadapan dengan sosok yang dinamakan “laki-laki”. Mereka tentu saja tidak tahu menahu apa kesalahan mereka. Seingat mereka, bahwa mereka tidak pernah berniat membuat wanita itu sakit hati, malah terkadang ucapan mereka terlalu manis, bahkan terkesan memuji.

Bagi dirinya, semua ucapan manis yang keluar dari mulut laki-laki itu hanya sebuah jebakan agar perempuan-perempuan di hadapannya akan takluk. Setelah itu pasti laki-laki itu akan membuatnya menderita, selalu seperti itu sampai perempuan-perempuan itu mati dan berjalan pada alur kedamaian yang abadi.

Mungkin memang ada laki-laki baik, tapi mereka bukan malaikat yang suci, pikirnya. Mereka hanya seperti syetan-syetan yang terbalut kain putih, hanya tinggal waktu saja dan pasti mereka akan membuka kedok mereka.

Tapi…..suara lembut itu mengusik hari-harinya kini. “Kamu jangan bodoh! Tidak semua laki-laki itu kejam! Tuhan memberikan dua hal, dan kita hanya mengembangkannya. Apakah kita akan menjadi baik ataukah kita akan menjadi lebih buruk daripada binatang. Mei….wanitapun sama, tidak semua wanita itu suci. Wanita ada yang menodai kata suci yang selalu disandangnya. Tolong…Mei, aku mohon jangan perlakukan aku seperti itu.”

Perlahan kenangan dan suara itu menghilang. Pecah oleh benturan kilat yang menyambar, hujan semakin deras. Tak ada lagi tawar-menawar untuk hari itu.

Ia lemah. Ia bersandar pada kursi yang sudah tidak berguncang lagi. Dilihatnya air hujan di luar. Hari mungkin semakin buruk, cahaya tak sedikitpun terlihat. Sunyi di hati, ramai pada gemuruh guntur yang bertalu-talu.

Rambutnya berantakan. Habis sudah ia menjambak keras sisi-sisi rambutnya di sekitar telinga. Keringat tubuhnya berkucur seakan ia habis lari berjarak jauh. Kenangan dan suara-suara yang muncul di pikirannya benar-benar menguras emosinya. Padahal, di luar udara teramat dingin dengan angin yang tak henti-hentinya masuk melalui jendela yang sejak tadi ia buka.

Kini tatapannya kosong, dirinya teramat lemah. Seakan syetan-syetan yang bersemayam di dalam tubuhnya sudah keluar. Ia tak perduli dengan orang-orang yang hanya satu, dua, tiga yang berlalu-lalang di depan kontrakkan. Ia membiarkan mereka lewat tanpa melihat tajam ke arah mereka. Lagi pula tak ada gunanya menegaskan wajah mereka yang berjalan atau berlari semakin cepat agar bisa berteduh dari hujan yang menggempa.

“Meisya!” lamunannya hancur. Satu sosok telah berdiri di depan kontrakkannya dengan tubuh kuyup dan tangan mendekap dada.

Ia mengernyit. Bangun. Dan, segera membuka pintu yang dapat digapainya dari sisi kursi. “kamu! Ngapain?”

“Boleh aku masuk, Mei?” gigi sosok menggigil itu gemeretak.

Tanpa menjawab. Wanita itu membuka pintu lebih lebar. Mempersilakan tamunya masuk. Setelah handuk ia serahkan untuk mengurangi kedinginan, ia pun duduk di hadapannya. Membiarkan pintu kontrakkannya terbuka dan air hujanpun mulai berlomba masuk.

“Aku tutup, ya?”

“Biarkan saja! Ada apa ke sini?!”

“Aku mau ngajak kamu jalan bareng ke pernikahan Rizal, mau kan?” laki-laki itu tersenyum.

“Kenapa harus aku?”

“Karena aku ingin pergi denganmu. Apa aku kurang baik untuk pergi denganmu, Mei?”

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya memandang laki-laki itu dengan tajam, tapi matanya semakin melemah. Ia pun menunduk, dan air matanya sudah membasahi pangkuannya. Mereka terdiam, hanya suara hujan yang semakin menderas dan isak tangis wanita itu yang melemah.

“Maafkan aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku benci ayahku! Aku benci laki-laki itu! Aku benci dia!” ia berkali-kali menyeka air matanya. Untuk pertama kali ia menangis di hadapan laki-laki.Tak ada kata yang terucap, hanya tangis wanita itu dari luka yang begitu dalam yang ia rasa. Guntur pun terus bertalu.

Tangerang, Januari 2006

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Lain-lain

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) Bahasa yang indah mengalir. Bagai air mata yang bergulir di pipi itu.

  • (Penulis)
    2) * Kurusawa: Terima kasih ya...
  • 3) wah.. cantik permainan emosi ceritanya.
    boleh dijiwai.
  • 4) ternyata luka yang meninggalkan parut gak pernah bisa padam dari hati. lalu kadangkala kita menangisi sebuah takdir yang digariskan olehNya. mungkin, kadangkala manusia lupa akan perkataan 'redha'.

  • (Penulis)
    5) * Cahatomic: Hm... yipi. Memang menulisnya dijiwai, meskipun Alhamdulillah... aku tidak mengalami dalam keluarga. Hanya saja, memang ada di sekitar kita yang seperti dalam cerita "Luka Perempuan"

    * Syud: Tapi, alangkah baiknya jika kita mengalami masalah seperti itu, kita harus bertindak. Mungkin sebagian dari kita akan pasrah, maka orang di sekelilinginya itulah yang harus membantu.

Cerpen-cerpen lain nukilan DivinN

Read all stories by DivinN
No stories.