Kota Cahaya

 

 

Kota Cahaya

Oleh: Sunlita Citra Tanggyono

 

“Izinkan aku untuk menaiki tangga,

tapi jangan biarkan aku menaikinya dua-dua.”

 

Aku hidup di kota Cahaya, tempat di mana semua harap melesat ke udara, lepas jauh ke angkasa. Di sini begitu indah, mungkin jauh lebih indah daripada kotamu. Tapi mana mungkin kau tahu, dan mana mungkin aku menyebutnya sebagai kota yang luar biasa? Sebab kau tak mengenal kota Cahaya, dan aku tak mengenal kotamu.

 

‘Ah, sombong sekali orang ini. Apa hebatnya kota Cahaya?’ pasti begitu pikirmu.

 

Ya, ya, kau boleh berkata demikian, sebab hakmu untuk berbicara, mengutarakan pendapatmu itu. Atau, kalau kau tak berpikir demikian, baik pula adanya, sebab kita tidak perlu mengusung persoalan itu di sini.

 

Baiklah, ada baiknya aku mengaku, masalah sedang merundungku. Tentu, ini bukan masalah biasa, sebab aku hidup di kota Cahaya.

 

Di kotaku, matahari terbit dan terbenam berulang kali dalam sehari. Waktu berjalan terlalu cepat. Begitu pula dengan impianmu yang melesat ke angkasa. Begitulah keadaannya di sini. Mungkin kota ini bisa dijadikan surga oleh pencinta matahari terbit dan terbenam, tapi tidak bagiku.

 

Suhu di sini cenderung stabil, tapi orang-orang sangat labil. Mereka senang, gembira, sedih, marah, masing-masing emosi berganti hanya dalam waktu beberapa saat saja. Kekanak-kanakan? Mungkin. Tapi bukan itu pula masalahku. Aku tak perlu mempermasalahkan mereka sebab itu semua konstan terjadi sepanjang waktu. Mempertanyakan apakah mereka senang atau marah, atau apa yang mereka rasakan saat ini, sama seperti mempertanyakan manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam? Atau, mempertanyakan kasus esensi atau eksistensikah yang lebih dahulu ada? Cukup! jangan bawa Thomas Aquinas di sini, sebab kita sedang membicarakan kota Cahaya. Jika ini masih hanya masalah waktu.

 

Aku tinggal di sebuah gedung indah buatan mesin. Ukiran manusia begitu mahal di sini, kerajinan tangan tidak terhitung harganya, juga waktu mereka. Aku dan teman-temanku adalah bangsa terkucil, bangsa yang terlupakan. Kami tinggal bersama-sama dan gedung itulah satu-satunya tempat kami menghabiskan waktu.

 

Ya, kami adalah penikmat waktu. Meraup waktu banyak-banyak, dan melahapnya dengan santai. Kami mengoleksi waktu milik kami sendiri, memajangnya di lemari kesayangan, atau di ruangan besar tempat kami berkumpul setiap harinya. Tertawa, bercanda, dan menghirup napas sambil memainkan waktu kami.

 

Kami hidup dari mereka yang mengimpikan waktu. Mereka rela membayar berapa pun untuk mendapatkan waktu, padahal mereka mendapat jatah yang sama dengan kami dari pemerintah kota Cahaya. Mereka mengemis tak berdaya, dan sesekali kami berbelas kasih memberikan sepercik waktu. Mereka akan girang bukan main. Esoknya makanan akan memenuhi dapur kami, atau gedung kami akan kembali dipugar lagi dan lagi, tapi kami tak pernah bersedia menerima uang dari mereka.  Apa itu uang? Kekayaan tak ada artinya di sini. Sebab orang kaya pun mengemis pada kami.

 

Sayangnya, tidak semua orang malang itu bisa mengemis pada kami, bahkan untuk sekadar mengemis pun tak sesederhana itu. Di saat mereka menyadari kecepatan waktu, kecepatan kota Cahaya ini, di saat itu pula mereka bisa melihat gerbang gedung kami yang tertutup gedung perkantoran megah.

 

Aku keluar dari gedung kami, menuju sebuah toko buku di mana aku dan dia sering meluangkan waktu. Kami lebih suka bertemu di luar gedung, sambil menikmati pemandangan sekitar yang mungkin tidak akan terulang lagi.

 

Langkah kakiku semakin cepat. Menginjak beberapa genangan air secara tidak sengaja. Bagian bawah celana panjangku kotor semua. Tapi kubiarkan, kukibas pun tidak. Ingat, aku tinggal di kota Cahaya, maka aku tak perlu pula merisaukan kapan celanaku ini akan kering dan kotoran akan retak jatuh ke tanah.

 

Matahari sudah kekuningan, entah senja atau dini hari. Tentu tak masalah, sebab semua toko atau apa pun itu telah menghapus tulisan “Waktu Beroperasi”, menjadi angka dua puluh empat besar dengan gambar jam dinding di sebelahnya. Ah, lihat, dia sudah menungguku, tepat di samping kaca jendela! Tempat biasa kami bercakap bersama. Entah sejak kapan..

 

Saat aku melintasi pintu, aku melihat beberapa meja di bagian depan yang sudah penuh oleh beberapa pelajar. Membicarakan sesuatu dengan seru, salah seorangnya dengan semangat mencorat-coret di atas selembar kertas. Teman-temannya melihat dengan penuh rasa ingin tahu, beberapa bahkan mencondongkan tubuh lebih dekat lagi. Lalu tawa menggelegar dan tepuk tangan ditujukan untuk seorang itu. Maka aku yakin bahwa yang kumasuki adalah “ruang diskusi” bukan “ruang baca” yang terhubung di bagian yang lain. Petugas akan marah besar jika aku salah memasuki ruang, sebab ruang baca tidak memperkenankan pengunjungnya memakai sepatu seperti yang kukenakan sekarang. Bunyi sepatuku akan terlalu berisik dan itu mengganggu. Aku melintasi beberapa ruangan sebelum akhirnya sampai pada tujuanku, sebuah ruang diskusi yang sepi, tepat di sebelah jendela.

 

“Hai!” sapaku kepadanya. Di toko buku ini terdapat banyak fasilitas seperti puluhan atau mungkin ratusan tempat duduk dan minuman sederhana yang gratis. Siapa pun tidak akan dilarang untuk membaca buku di sini, bahkan gelandangan yang tidak akan membeli sekali pun.

 

Dia diam saja dan aku duduk tepat di samping jendela, melihat pemandangan sekitar dan sesaat kemudian aku tertawa. Kulihat seorang pemuda berjalan cepat di trotoar, sama seperti yang kulakukan sebelumnya, namun ia berjalan lebih gugup dariku. Bajunya agak sedikit berantakan, terlebih lagi rambutnya. Tasnya bergoyang ke sana ke mari sedangkan matanya terus bergantian menatap antara jam tangannya dan jalanan. Lucunya, dari jam tangan itu, serbuk waktu mengalir deras dan jatuh ke jalanan, lenyap.

 

“Kenapa kau tertawa?” tanyanya.

 

“Eh?”

 

“Kenapa kau tertawa?” tanyanya sekali lagi dengan nada datar.

 

“Oh, tidak apa. Hanya melihat pemandangan lucu,” sahutku sambil terkekeh geli. “Baca apa?” tanyaku kemudian.

 

“The Blank Book,” katanya.

 

“Oh itu, aku punya beberapa, buku yang bagus. Tergantung siapa yang memilikinya dan menulisinya sendiri! Hahaha, buku yang betul-betul kosong! Hm.. Pernah kau hitung berapa banyak waktu yang kau habiskan untuk mengetahui waktu itu sendiri?” tanyaku sambil masih terkekeh.

 

“Masih kau lanjutkan mimpimu tentang waktu?” ia menatapku prihatin, menutup buku yang disebutnya tadi.

 

“Mimpi?” tanyaku sambil mengerutkan dahi. “Mimpi atau impian?”

 

“Apa bedanya?”

 

“Bedanya? Apa itu kesamaan? Lalu, apa itu mimpi?” tanyaku penuh ingin tahu.

 

 Ia bangkit berdiri dan merobek dinding toko buku kesayangan kami. Udara dingin kembali menerpa wajahku. “Ada kebocoran di kota Cahayamu ini. Dan dari sana juga kutemukan kelucuan seperti yang kau lihat tadi,” kali ini ia berkata sambil terkekeh. Mencairkan suasana wajahnya yang beku sebelum diskusi ini ada.

 

“Apa?” tanyaku singkat. Agak sedikit terkejut.

 

“Kau belajar membuat kota Cahaya, tapi kau lupa caranya bermimpi. Kembalilah ke tangga-tanggamu yang sebelumnya, lalu pungutlah setiap serbukmu yang masih tersisa. Setelah itu, kembalilah ke sini dan bawalah sisanya. Sebab kau harus mengulangnya lagi, termasuk membuat toko buku ini.”

 

Lalu ia merobek lantai tempatku berpijak dan aku mendarat di tangga-tanggaku yang dingin. Aku mencoba melihat ke atas, dan kulihat satu titik kecil bersinar. Itulah kota Cahaya, tempat yang mengusirku dari bagiannya.

 

Mungkin orang-orang akan bertanya-tanya tentang diriku, mungkin juga tidak. Ah, apa artinya satu pertanyaan dalam kota Cahaya? Karena mimpi dan impian adalah sama di dalamnya.

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Eksperimen

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account

  • 1) wah bagus ni, cass. menarik temanya, pengolahan ceritanya juga rapih. hati2 ya? haha

    semangat ya, cass.

Cerpen-cerpen lain nukilan cassle

Read all stories by cassle