Blue Balloon

 

Ruangan kecil itu hanya diterangi beberapa lampu terang, cahayanya silau membutakan mata. Alex terhenyak di sebuah sofa, berusaha mengalahkan kegugupannya. Pintu terbuka dan sebuah karangan bunga dihantarkan kepadanya. Alex tak pernah mengetahui jenis bunga itu, warnanya biru cemerlang—seperti biru langit. Terselip di antara tangkainya sebuah kartu ucapan, juga berwarna biru—lembut menenangkan.

 

Terus kejar mimpimu, perjuangkan ia sekuat tenaga. Jangan pernah ragu. Good Luck! From: Kiara”

 

Pintu terbuka lagi dan Dian muncul di hadapannya, cepat-cepat ia sembunyikan kartu ucapan itu di sakunya.

 

Dian tampak begitu perhatian kepadanya, kerahnya ia betulkan, penampilannya ia rapikan. Sungguh teliti tanpa ada satu kerutan pun yang terlewatkan.

 

Malam itu Alex akan melantunkan sebuah lagu kenangannya dengan Kiara, lagu rahasia mereka berdua. Sebuah kenangan yang indah karena ada manis dan pahit di dalamnya. Sudah waktunya ia melupakan Kiara, ia akan menjadikan lagu ini sebagai persembahan terakhirnya pada Kiara—seorang pemimpi yang telah terbang bersama mimpinya.

  

Suasana ruang konser itu hening, semua penonton terdiam di tempatnya masing-masing. Lampu sorot mengarah kepada sebuah piano grand hitam mengilap di tengah panggung.

 

“Dan sekarang.. Mari kita saksikan, sebuah penampilan dari seorang pianis muda yang namanya pasti sudah Anda kenal.. IVAN ALEXANDER!!” Sang pembawa acara berteriak semangat dan lampu sorot diarahkan kepada seorang pemuda jangkung yang sedang berjalan menuju satu-satunya piano di atas panggung itu. Tepuk tangan meriah mengiringi langkahnya.

 

Alex membungkuk ke arah penonton lalu ia duduk dengan anggun sambil memandangi tuts-tuts hitam putih itu. Ia terdiam sesaat. Ini adalah saat-saat dimana ia dapat melambungkan namanya, membuktikan kemampuannya sendiri. Ia menunduk, pikirannya terus menyebutkan nama Kiara.

 Kiara, sudah lepas landaskah dirimu? Terbang mengudara menuju cita-cita yang kau impikan—di London.Kaulah pemenangnya Kiara, kau pantas mendapatkan beasiswa itu. Jikalau bukan karena konser ini, aku pasti tak akan sanggup melepaskanmu Kiara.Karena kaulah yang mengajarkanku untuk terus memperjuangkan sebuah mimpi. 

Alex mengambil napas dalam-dalam, dan ia memulai denting pertamanya. Sebuah karya berjudul Blue Balloon hasil karya seorang komposer asal Kroasia, Tonci Huljic. Tangan kirinya bergerak dalam triplets-triplets. Mengalun, legato dengan accent dan dinamika yang pas.

 Kiara, masih ingatkah engkau ketika itu aku enyah dari rumah.Kau tahu, hari itu adalah hari ulang tahun Ayah.Ia berkata bahwa aku bodoh, sama seperti Ibu.Hanya karena aku tak ingin melepaskan mimpiku.Aku tahu ia menangis tersedu saat membuka hadiah itu.Sebuah pin dasi pilihanmu, yang telah meluluhkan sifat kerasnya.Terlambat, aku telah menghilang dari sana. 

Tangan kanan Alex memasukkan nada-nada inti dengan kuat, forte fortissimo. Ia menggabungkannya dengan nada-nada dari tangan kiri yang terus mengalun, berulang-ulang, menggema, hingga ke seluruh ruang konser. Ia menginjak dan melepas pedal dalam timing yang tepat, resonansinya sempurna.

 Aku masih sering tersenyum sendiri, memikirkanmu.Apakah kau masih sering stage nervous Kiara?Kau sudah menjadi pianis profesional sekarang, mengalahkanku dan Dian. 

Nada-nada itu berbunyi layaknya sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang dilontarkan Alex dari dalam hatinya. Tak akan pernah terjawab.

 Ingatkah kamu ketika asma Dian kambuh?“Ingat ya Lex! Setengah genggam putri malu. Jangan diminum sekaligus!”Pesanmu berulang kali, hingga kata-kata itu terpatri.Kaulah yang menyembuhkannya Kiara, bukan diriku.Lihatlah Dian yang sekarang.. Ia hampir seperti dirimu.Ah! Dian tetaplah Dian, dan kau tetaplah kau.Namun mengapa Dian yang senantiasa di sisiku?Mengapa bukan dirimu, Kiara? 

Ia menyatukan melodi menjadi satu, bergulir dari nada rendah. Terus menuju puncak. Mencapai klimaks, lalu menderu turun. Nada-nada itu terus bertanya, dan jawaban terdengar berat di ujung sana. Selalu ada jawaban yang terdengar. Saling tanya jawab.

 

Lalu melodi meninggi, dihentakkan semakin lama semakin keras.

 Kau tahu Kiara, bila saja saat itu kau menerimaku.Saat permainan Four Hands kita, waktu itu..“Maaf Lex, kamu terlalu istimewa. Aku masih memiliki mimpi untuk diwujudkan.”Istimewa! Luar biasa alasanmu itu Kiara.Aku istimewa karena ada dirimu, sekarang hatiku hancur.Tahukah kau akan itu? 

Nada-nada itu telah mencapai puncaknya. Pandangan mata Alex kabur, basah oleh air mata. Saat itu ia hanya dapat mengandalkan hasil latihannya. Jarinya bergerak sendiri, menghasilkan denting-denting jernih—menusuk hati.

 Kiara, kamu mengajarkanku untuk terus maju.Hari ini aku bermain di sini.Menunjukkan pada dunia, siapa aku sebenarnya.Apa yang kurasakan.Walau bukan dengan kata-kata. “Kita harus berani mengecewakan sepuluh orang untuk memperjuangkan seseorang—seseorang yang sangat berarti untuk kita.”Nampaknya, aku tergolong dalam sepuluh orang itu ya? Tak apa, sungguh tak apa.Meski aku hancur lebur termakan fakta. 

Tempo permainannya melambat. Ia menghadirkan beberapa arpegiation indah. Menghentak dan menghilang. Sama seperti Kiara yang telah mengguncang hidupnya, lalu menghilang begitu saja. Hanya sunyi.

 

Sedetik kemudian seluruh penonton bangkit berdiri, standing applause selama 5 menit dipersembahkan kepadanya—atas sebuah penampilan penuh emosi yang ia suguhkan. Banyak di antara penonton yang turut menitikkan air mata. Alex menyeka air matanya sendiri, ia memandang ayahnya yang tersenyum bangga. Alex tak dapat membayangkan, pria tua itulah yang waktu itu melarangnya sekuat tenaga dalam mencapai cita-citanya—dalam memperjuangkan mimpi yang sekarang sudah selangkah di depan mata.

 

Saat ia turun dari panggung, Dian menyerbunya—bercucuran air mata. Hampir semua pasang mata melihat mereka berpelukan di sana. Banyak diantaranya bertepuk tangan, bersiul, menambah kebahagiaan mereka berdua.

 

Salahkah aku jika mencari penggantimu, Kiara?

Baca perbualan

Cerpen-cerpen Berkaitan

Semua cerpen-cerpen Cinta

cerpen-cerpen lain

Perbualan

Perbualan

Want to join the conversation? Use your Google Account


  • (Penulis)
    1) Well, cerita ini adalah cerita pertama aku yang mengangkat tema cinta, hehehehehe... Mohon tanggapannya yaaa..... ^^
  • 2) wow! hhhhhh~ cass, mnyentuh perasaan bgt sih. aq dpt rasain musikx. Kata2 syahdu sdg melodi beralun. law bisa aq mau jg bikin bgini. hehe..

    ada bbrapa words yg aq gk fhm tp overall stori aq fhm. penulisan km bgs bgt dear. GUD!
  • 3) cassle. kalau selepas dipos, diedit2 semula formatnya agar lebih presentable, pasti menarik gitu :D


  • (Penulis)
    4) Wuikzz!! (iya yak, baru liat ternyata spasi antar paragrafnya banyak yang ilang..... thanks komentarnya ya Caha..)..

    @Nurie, Wek, iya, ada beberapa yang menyarankan untuk menyertakan semacam "kamus mini" di akhir cerita, akan kuperbaiki dalam cerita-cerita mendatang... ^^

    Thanks2...
  • 5) uhu..sgt menarik!! ah,alangkah bgusnya klo bisa bermain piano~~ =)

  • (Penulis)
    6) @syud, otodidak sajaa.. hehehehehehe... ^^ Semangat yaa...
  • 7) bagus!...maju terus, cass... :D

Cerpen-cerpen lain nukilan cassle

Read all stories by cassle